jpnn.com, JAKARTA - Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR Andi Akmal Pasluddin menyatakan bahwa fraksinya tetap konsisten menolak Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Andi menyebut perppu yang kini telah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 itu hanya menghasilkan pelebaran defisit APBN tanpa imbas signifikan.
BACA JUGA: Minus 5 Persen
Menurut Andi, perppu yang telah disetujui DPR itu membuat pemerintah sangat digdaya dalam merumuskan anggaran, pembuatan undang-undang, ataupun menghadapi proses hukum. Pejabat yang menjalankan amanat perppu itu juga dibebaskan dari masalah hukum di kemudian hari.
Hanya saja, Andi melihat hasil yang diinginkan baik itu di bidang ekonomi maupun kesehatan tidak tercapai meski perppu itu sangat powerful.
BACA JUGA: Harus Fair Akui Kinerja Ekonomi Pemerintah Tak Terlalu Buruk di Masa Pandemi
"Kalau saya melihat perjalanan selama ini yang berhasil itu hanya menambah defisit APBN kita," kata Andi dalam diskusi bertema Evaluasi Perppu Corona dan Ancaman Resesi Ekonomi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (25/8).
Andi menjelaskan, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur batas maksimal defisit APBN hanya tiga persen dari produk domestik bruto (PDB).
BACA JUGA: Mardani PKS: Kita Semua Layak Khawatir
Sementara pemerintah dengan perppu itu telah berkali-kali mengubah celah defisit. Perubahan pertama dari 3 persen menjadi 5,7 persen.
Selanjutnya pemerintah kembali mengubah angka defisit menjadi 6,7 persen dari PDB. "Kalau berhasil pemerintah menaikkan defisit artinya utang terus, dengan alasan ini upaya pemulihan ekonomi nasional dan pemulihan kesehatan," sindirnya.
Anggota Komisi IV DPR itu menilai pemerintah dari awal sudah gamang dalam memilih antara kesehatan atau ekonomi. "Dalam perjalanannya dua-duanya difokuskan. Karena dua-duanya difokuskan akhirnya tak ada yang berhasil," jelasnya.
Andi lantas mencontohkan kurva kasus positif Covid-19 terus naik. Artinya, masyarakat yang terjangkiti corona makin banyak.
Sementara di bidang ekonomi, pada kuartal II 2020 terjadi kontraksi minus 5,32 persen. "Kalau nanti minus lagi pada kuartal III-2020 berarti kita sudah memasuki resesi technical," ujarnya.
Ia menambahkan secara teori ada lima indikator resesi ekonomi. Pertama adalah tidak seimbangnya konsumsi dan produksi.
"Konsumsi menurun karena masyarakat membatasi pengeluaran. Akibatnya sekarang kita lihat pertumbuhan ekonomi turun," katanya.
Indikator kedua ialah inflasi. Adapun indikator ketiga ialah deflasi.
Keempat, resesi bisa dilihat pada angka pengangguran. Menyitat data Kementerian Ketenagakerjaan, Andi menyebut hingga Juni lalu sudah ada tiga juga penganggur.
"Kalau sekarang ini lagi sampai Agustus ini mungkin sudah lebih tiga juta. Itu PHK orang yang kerja formal, yang tidak kerja formal berapa juta?" kata dia.
Oleh karena itu Andi menegaskan, perppu belum berhasil mengatasi masalah ekonomi. Serapan anggaran pemulihan ekonomi nasional juga rendah.
Akibatnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat marah-marah dalam rapat kabinet.
"Namun untuk apa marah-marah kalau tidak ada realisasi? Anda (presiden) sebagai CEO, sebagai pemimpin tertinggi," katanya.(boy/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Boy