Para terdakwa di Nauru tidak lagi bisa mengajukan banding dan melakukan sidang banding di Australia, menyusul langkah pemerintah negara itu memutuskan hubungan dengan sistem peradilan Australia.
Langkah oleh Pemerintah di Kepulauan Pasifik itu telah mengakibatkan beberapa mantan anggota parlemen Oposisi Nauru yang terlibat dalam kasus-kasus yang kental nuansa politisasinya tidak memiliki upaya banding.
BACA JUGA: Temuan Bom Rakitan Ditemukan Di Ipswich
Para pengacara mereka baru mengetahui perubahan tersebut setelah ada kesempatan bertemu dengan pejabat senior Nauru dalam sebuah penerbangan ke Brisbane, Queensland, Australia. Poin-poin penting:Para terdakwa di Nauru telah dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Australia sejak tahun 1970-anNamun pada bulan Maret, Pemerintah Nauru mengutip keterjangkauan dan transparansi sebagai alasan untuk mengubahnyaParlemen Nauru belum memberikan suara mengenai masalah ini, tetapi Pemerintah Nauru sudah lebih dahulu membatalkan perjanjian dengan Australia
BACA JUGA: Kenaikan Premi Asuransi Resmi Berlaku April Ini
Pengadilan tertinggi di Nauru adalah Mahkamah Agung, tetapi sejak tahun 1970-an, para terdakwa di negara itu dapat meminta cuti untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Australia sebagai upaya arbitrasi terakhir.
Nauru ingin mendirikan Pengadilan Banding sendiri guna memberikan kedaulatan yang lebih besar bagi negaranya, tetapi Parlemen Nauru belum memberikan suara mengenai masalah ini.
BACA JUGA: Konsultasi Kesuburan Online Dengan Dokter di Australia
Bulan lalu, Pemerintah Nauru menyebut keterjangkauan dan transparansi menjadi dasar motivasi perubahan ini, serta menegaskan kedaulatan bangsa Nauru.
Pakar hukum Australia dan mantan hakim magistrasi residen di Nauru Petrus Law mengatakan dia yakin perubahan itu merupakan suatu tujuan yang terpuji, tetapi menggambarkan pemilihan waktu untuk melakukan perubahan ini "mengkhawatirkan".
"Perubahan ini "menunjukkan ... arus bawah politik untuk tindakan-tindakan semacam ini," katanya.
Itu karena pemilihan waktu tersebut akan  mempengaruhi kasus dari beberapa mantan anggota parlemen Nauru yang terlibat dalam aksi unjuk rasa sengit pada tahun 2015.
Aksi unjuk rasa itu, ironisnya, terkait dengan keprihatinan mereka tentang independensi peradilan di negaranya.Batalkan perjanjian
Dua orang pengacara Australia yang bekerja untuk anggota parlemen oposisi sedang dalam penerbangan dari Nauru kembali ke Australia pada Jumat Agung (30/3/2018) setelah mendengar putusan atas kasus tersebut.
Pada penerbangan yang sama terdapat Jaksa Agung Muda Nauru, Jay Udit.
Sebuah obrolan santai saat tiba di Brisbane mengungkapkan bahwa Pemerintah Nauru telah secara resmi memberi tahu Pemerintah Australia di Canberra bahwa mereka akan menghapus perjanjian yang memungkinkan para terdakwa di Nauru upaya bandingnya dapat digelar di Pengadilan Tinggi Australia.
Meskipun niat Pemerintah Nauru untuk mendirikan Pengadilan Banding sendiri telah dikabarkan sebelumnya, namun mereka belum mempublikasikan pemberitahuan resmi untuk memutuskan hubungan dengan sistem peradilan Australia itu.
Informasi yang diperoleh ABC menunjukan pemberitahuan resmi itu terjadi pada 12 Desember dan pemutusan hubungan itu berlaku tiga bulan kemudian.
Oleh karena itu, sejak 13 Maret lalu upaya naik banding ke putusan Mahkamah Agung Nauruan tidak lagi dapat digelar di Australia.'Mereka tidak lagi memiliki rute banding'
Mengingat pengadilan banding Nauru baru belum ditetapkan, atau disetujui oleh Parlemen, tidak ada opsi untuk melakukan banding lebih lanjut.
Salah satu pengacara untuk Anggota Parlemen Oposisi, Christian Hearn, mengatakan bahwa kebijakan ini telah menyebabkan para terdakwa "dalam keadaan tidak tentu".
"Pada tahap ini, melalui tindakan eksekutif dalam kasus yang sangat dipolitisasi, mereka telah ditolak haknya untuk mengajukan banding terhadap keputusan Mahkamah Agung pekan lalu," katanya.
Mengingat pengadilan banding Nauru baru belum ditetapkan, atau disetujui oleh Parlemen, tidak ada opsi untuk melakukan banding lebih lanjut.
Salah satu pengacara untuk Anggota Parlemen Oposisi, Christian Hearn, mengatakan bahwa pihaknya membiarkan para terdakwa "dalam keadaan tidak tentu".
"Pada tahap ini, melalui tindakan eksekutif dalam sebuah kasus yang sangat dipolitisasi, mereka telah menolak hak para terdakwa untuk mengajukan banding terhadap keputusan Mahkamah Agung Nauru pekan lalu," katanya.
"Mereka tidak lagi memiliki rute banding ke Pengadilan Tinggi [Australia] dan mereka tidak memiliki rute banding lainnya."
Christian Hearn mengatakan belum ada pemberitahuan oleh Pemerintah Nauru, jaksa penuntut umum atau Mahkamah Agung tentang perubahan besar dalam lansekap hukum negara itu.'Itu tidak adil'
Mathew Batsiua adalah salah satu mantan anggota parlemen oposisi sebelum Mahkamah Agung mengalahkan kasusnya dalam aksi unjuk rasa tahun 2015.
Dia berbicara kepada ABC dari Nauru di mana dia sedang mendapat jaminan menunggu sidang banding â sebuah upaya banding yang tampaknya tidak dapat lagi dia usahakan.
"Mematikan jalan banding ke Pengadilan Tinggi ... berarti kita akan dirugikan dan itu tidak adil."
Matthew Batsuia juga mantan menteri kehakiman Nauru.
Dia menyatakan itu adalah Parlemen Nauru yang memiliki kewenangan untuk mengelola perjanjian dengan Australia, bukan Pemerintah Nauru.
Dia menuduh Pemerintah Nauru telah bertindak di luar kekuasaannya dengan mencabut upaya mekanisme naik banding.
"Ada masalah aturan hukum di sini, di mana proses di  parlemen tampaknya telah dilewati oleh Pemerintah Nauru." Photo: Muncul kekhawatiran perubahan ini akan mempengaruhi para pencari suaka. (Departmen Imigrasi dan Kewarganegaraan)
Petrus Law juga prihatin bahwa lembaga eksekutif di Nauru telah bertindak di luar kekuasaannya.
"Sejarah yang berlangsung selama empat tahun terakhir telah memberi kesan kepada saya bahwa Pemerintah tidak memiliki pemahaman nyata tentang aturan hukum dan pemisahan kekuasaan," katanya.
"Cara keputusan telah diintervensi - atau dikomentari - oleh anggota parlemen ... dan fakta bahwa keputusan Mahkamah Agung telah diabaikan membuat saya berpikir bahwa para Hakim mungkin merasa ditekan oleh Parlemen dalam pengambilan keputusan mereka. "Dampak serius bagi pencari suaka
Banyak dari upaya banding terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung Nauru yang diajukan ke Pengadilan Tinggi Australia adalah kasus-kasus yang melibatkan para pencari suaka.
Pengacara dan advokat terkemuka George Newhouse menggambarkan perubahan itu sebagai masalah yang sangat serius bagi pencari suaka di Nauru.
"Ketika Pengadilan Tinggi memiliki catatan mampu menjungkirbalikkan delapan dari 11 keputusan buruk oleh pengadilan Nauruan terhadap pencari suaka, sangat penting bahwa para pencari suaka itu memiliki pengadilan independen yang dapat mereka datangi untuk naik banding," kata Newhouse.
Australia adalah pemberi donor bantuan luar negeri terbesar di Nauru dan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Nauruan pada pengaturan untuk negara Pasifik untuk memproses pencari suaka yang ingin datang ke Australia. Photo: Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop mengatakan Australia mendukung kedaulatan Nauru. (ABC News: Adam Kennedy)
Dalam sebuah pernyataan, Menteri Luar Negeri Julie Bishop mengatakan "Australia mendukung kedaulatan Nauru dan keputusannya pada Desember 2017 untuk mengakhiri perjanjian sebelum peringatan kemerdekaan negara tersebut yang ke-50 ".
Matthew Batsiua percaya bahwa Pemerintah Australia harus mempertanyakan keputusan Pemerintah Nauru dan pemilihan waktu untuk melakukan perubahan ini.
Begitu juga pendapat Petrus Law: "masalah ini juga akan berdampak buruk pada Australia, karena kita akan mengasosiasikan Pemerintah Nauru dengan Pemerintah lain yang menampilkan semua pencapaian dari rezim yang jahat."
Pemerintah Nauru telah dihubungi untuk dimintai pendapatnya mengenai masalah ini.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Malala Kunjungi Tanah Kelahirannya Di Pakistan