jpnn.com - JAKARTA - Upaya pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang mendesak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menaikkan harga BBM sebelum lengser sejauh ini tidak berjalan mulus.
Selain dimentahkan oleh SBY, pihak Jokowi-JK melalui tim transisi dinilai juga belum menjelaskan mengenai jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menjalankan program-program dari janji kampanyenya dulu.
Hal tersebut dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar Harry Azhar Aziz dalamsebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat (Jakpus), kemarin (30/8).
BACA JUGA: Anggaran Pembangunan Tol Laut Jangan dari APBN
"Berapa dana untuk program-program untuk pemerintahan baru, yang harga mati, yang harus membutuhkan dana. Berapa kebutuhannya ?" kata Harry.
Menurut Harry, Jokowi-JK maupun tim transisi perlu memberi penjelasan mengenai angka yang dibutuhkan oleh pemerintahannya dalam mewujudkan program-program atau janji-janji kampanyenya.
Dengan adanya penjelasan maka, para pihak dapat mengusulkan alternatif sumber dana yang nantinya dapat dimanfaatkan. Baik dari penghematan subsidi, belanja birokrasi maupun belanja-belanja lainnya.
BACA JUGA: Nanti Malam Tarif Listrik Naik
"Karena itu nanti diambil dari mana? Apakah dari penghematan subsidi, belanja birokrasi, rescheduling utang atau diambil dari belanja-belanja lain? Apa kombinasi?" tuturnya.
Sebelumnya diberitakan bahwa tim transisi telah menghitung, setidaknya pemerintahan Jokowi-JK membutuhkan sekurang-kurangnya sekitar Rp 1.000 triliun per tahunnya untuk mewujudkan janji-janji kampanyenya. Janji kampanyenya tersebut di antaranya, pengadaan Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat. Dana sebesar itu bisa didapat kalau Jokowi-JK memiliki ruang fiskal yang memadai di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015.
Selain itu, PT Pertamina (Persero) juga telah memprediksi kuota BBM subsidi jebol 1,35 juta kilo liter (KL) hingga 1,5 KL. Kuota BBM subsidi yang jebol tersebut setara dengan uang sekitar Rp 8 hingga 10 triliun yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.
Terkait hal tersebut, Ketua DPP Partai Demokrat Ichsan Modjo mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi nanti tidak perlu khawatir karena pemerintah SBY ditaksir masih memiliki dana Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) di APBN 2014 sekitar Rp 80-90 triliun. Dana sisa tersebut bisa digunakan untuk menambal potensi jebolnya kuota BBM bersubsidi.
"Menurut perhitungan kami dan penelusuran kami ada sekitar Rp 80 hingga 90 triliun dari SILPA di APBN 2014. Di SILPA tahun sebelumnya bahkan mencapai di atas Rp 50 triliun hingga Rp 100 triliun.
APBN kan tidak mungkin habis di akhir tahun dan selau ada sisa, jadi tidak perlu khawatir untuk itu (mencari dana talangan jebolnya kuota BBM)," kata Ichsan kepada Jawa Pos.
Tidak hanya itu, pemerintahan Jokowi nanti juga akan dibantu dengan adanya dana resiko fiskal APBN 2014 sekitar Rp 5 triliun dan dana penghematan Kementerian/Lembaga Negara sekitar Rp 3 triliun. "Jadi kami menemukan ada dana tambahan totalnya sebesar Rp 98 triliun itu," ujar dia.
Dia juga menegaskan, karena alasan itu hingga sekarang Presiden SBY belum mau menaikan harga BBM bersubsidi. "Jadi ketakutan wacana menaikan BBM ini tidak benar. Dari struktur APBN kita aman, ruang fiskalnya ada," ucapnya.
Pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noorsy termasuk yang heran dengan keinginan Jokowi-JK yang menginginkan kenaikan harga BBM di pemerintahan SBY yang sisa beberapa minggu lagi akan berakhir.
BACA JUGA: Jokowi Pastikan Usai Dilantik Harga BBM Naik
Menurutnya, argumentasi Jokowi dan tim transisi maupun PDIP untuk mewujudkan hal tersebut bertentangan dengan semangat konstitusi, tapi semata-mata adalah semangat pasar. "Kita bangsa Indonesia sedang digeser cara berpikirnya pada harga pasar, jadi tidak ketemu pada konstitusinya," tandasnya.
Dia menambahkan bahwa tantangan PDIP termasuk partai-partai pengusung pasangan Jokowi-JK dan tim transisi adalah menjawab kondisi yang ada sekarang ini. Jadi, tidak melulu membahas subsidi yang tidak tepat sasaran lantaran defisit transaksi berjalan, maupun defisit pada BBM.
"Tantangan terbesar PDIP adalah menjawabnya. Saya tidak melihat PDIP, tim transisi, dan Jokowi-JK menjawabnya," kata Ichsanuddin.
Sementara itu, Anggota Komisi VII dari Fraksi PDIP Effendi Simbolon menjelaskan, selama ini pemerintah termasuk PT Pertamina tidak memiliki data audit dalam pengelolaan migas.
Termasuk dasar-dasar yang digunakan dalam menaikan harga sehingga mampu diterima oleh masyarakat. Menurutnya, hal tersebut yang membuat pihaknya tidak memiliki pegangan yang pasti untuk dijelaskan kepada publik.
"Sampai sekarang saya belum pernah melihat audit Pertamina dari migas itu sendiri. Dasarnya apa menaikan harga? Sedangkan anda tidak tahu harga produksinya, prosesnya," kata Effendi.
Effendi juga berpandangan bahwa polemik pengelolaan migas disebabkan adanya mafia rente di dalamnya yang berakibat pada naiknya harga BBM. Dia berharap pemerintahan Jokowi-JK nantinya dapat menciptakan transparansi dalam tata niaga pengelolaan migas.
"Berapa besaran belanja per liter sehingga bisa menetapkan lebih murah dari negara lain, padahal belanjanya kita tidak tahu. Mengapa Petral ada di Singapura dan Hong Kong bukan di Cikini? Pertamina belanja pakai Dollar, tetapi pendapatannya dari Rupiah pasti ada disparitas," selorohnya. (dod)
BACA ARTIKEL LAINNYA... IBEX 2014, Ajak Generasi Muda Terlibat Langsung
Redaktur : Tim Redaksi