jpnn.com - JAKARTA – Kebijakan hilirisasi industri pertambangan Indonesia terus didorong oleh pemerintah. Setelah menjalankan kebijakan hilirisasi sektor mineral, pemerintah pun berancang-ancang untuk mengimplementasikan peningkatan nilai tambah pada batubara. Untuk mempersiapkan implementasi tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merancang kebijakan tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Sukhyar mengatakan, kebijakan tersebut merupakan amanat undang-undang nomor 4 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Nantinya, regulasi dalam bentuk peraturan menteri (permen) ESDM tersebut bakal memuat penjelasan mengenai nilai tambah batubara.
BACA JUGA: Elpiji dan Listrik Dorong Inflasi Oktober 0,47 Persen
"Saat ini, kami sedang membahas bersama APBI (Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia) dan Perhapi (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia)," ungkapnya di Jakarta kemarin (3/11).
Dia menjelaskan, pembahasan itu bakal meliputi beberapa poin penting terkait batubara. Misalnya, harga acuan batubara dan produk turunan yang dikaitkan dengan proyeksi fiskal pemerintah. Kemudian, alokasi pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO).
BACA JUGA: Jokowi Ajak Tiongkok Garap Infrastruktur di Luar Jawa
"Selain itu kami juga membahas bagaimana standar produk nilai tambah batubara dan siapa saja yang bakal menjadi offtaker (pembeli, Red)," ungkapnya.
Dalam kebijakan tersebut, pihaknya mengaku tak akan mengeluarkan regulasi keras seperti larang ekspor batubara. Pasalnya, kebutuhan batubara nasional diakui masih belum bisa menyerap sepenuhnya produksi yang ada. Dia mengaku hanya mengeluarkan kebijakan peningkatan penggunaan batubara untuk kepentingan dalam negeri.
BACA JUGA: Dekrit Rakyat Minta KPK Terlibat Seleksi Calon Direksi dan Komisaris BUMN
"Penyerapan batubara untuk domestik harus lebih tinggi sehingga ekspor batubara menurun. Tahun depan, alokasi batubara domestik akan kami patok diangka 110 juta ton. Lebih tinggi dari tahun ini sekitar 90 juta ton,’’ ungkapnya.
Meski tak menetapkan larangan ekspor, Sukhyar mengaku optimistis terhadap perkembangan hilirisasi batubara. Pasalnya, harga batubara saat ini sedang jeblok dan membuat rugi banyak perusahaan.
’’Sekarang harga batubara itu bisa mencapai USD 19 per ton. Padahal, ongkosnya mencapai USD 30 per ton. Otomatis yang memproduksi batubara kalori rendah bakal merugi. Kalau berpoduksipun hanya untuk mengurangi beban. Praktis, mereka ini sedang rugi,’’ tambahnya.
Sementara itu, Ketua Umum APBI Bob Kamandanu meyakinkan bahwa pihak pengusaha mempunyai antusiasme tinggi terhadap nilai tambah batubara. Pasalnya, hal tersebut bisa menjadi solusi terhadap kondisi lesu industri tambang batubara yang dialami saat ini.
"Kami bersama pemerintah terus melakukan pembahasan tentang nilai tambah ini. Mulai dari definisi nilai tambah yang seperti apa, bagaimana melakukannya, insentif apa yang bisa diterapkan," terangnya.
Dia menjelaskan, banyak cara untuk meningkatkan nilai pada batubara. Antara lain, peningkatan kalori batubara (coal upgrading) dan konversi batubara ke gas dan cair. Namun, model nilai tambah tersebut perlu sokongan teknologi yang handal serta secara komersial menguntungkan.
"Jadi kami meminta penjelasan lebih mendalam dari pemerintah terkait nilai tambah. Kalau misalnya, jadi pembangkit listrik berapa kebutuhan dan dimana saja," imbuhnya.(bil)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PLN Gagal Minta Mesin Pembangkit yang Disita Kejaksaan
Redaktur : Tim Redaksi