jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah menerbitkan surat utang berdenominasi dolar AS atau global bond senilai USD 4 miliar atau sekitar Rp 54 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, penerbitan global bond itu ditujukan untuk membiayai sejumlah kebutuhan pada Januari 2018.
BACA JUGA: Getol Bangun Tol, Jasa Marga Terbitkan Global Bond Lagi
’’Sekarang kami lakukan pre-funding. Sebab, kami lihat kebutuhan cash beberapa pengeluaran pada Januari memang cukup besar. Selain itu, biasanya pada Januari penerimaan pajak kita tidak meningkat,’’ papar Sri di Istana Bogor, Selasa (5/12).
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut melanjutkan, harus ada dana yang disediakan untuk menambal kebutuhan itu.
BACA JUGA: Waspadai Gejolak Harga Volatile Foods Jelang Akhir Tahun
Selain gaji pegawai, pengeluaran-pengeluaran yang harus dipenuhi, antara lain, transfer ke daerah, subsidi, dan kebutuhan membayar utang yang sudah jatuh tempo.
’’Jadi, keseluruhan kebutuhan kas kita pada Januari itu sudah kami hitung,’’ imbuh Sri.
BACA JUGA: Polri Raih Penghargaan sebagai Pengelola PNPB Terbaik
Sementara itu, Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Scenaider Siahaan menuturkan, pemerintah melakukan pre-funding karena sekaligus ingin memanfaatkan momentum.
Yakni, sebelum The Fed menaikkan suku bunganya. Sebab, kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS tersebut berisiko mengerek bunga surat utang AS dan dunia.
Dengan momentum yang cukup menguntungkan itu, penerbitan global bond bisa dilakukan dengan menawarkan bunga cukup rendah, yakni 3 hingga 4,4 persen.
Secara terperinci, global bond itu diterbitkan dalam tiga seri, yaitu seri RI0123 dengan tenor lima tahun USD 1 miliar, seri RI0128 dengan tenor sepuluh tahun USD 1,25 miliar, dan seri RI0148 dengan tenor 30 tahun USD 1,75 miliar.
Global bond tersebut mendapatkan peringkat layak investasi dari tiga lembaga pemeringkat paling dipercaya investor global, yakni Moody's, Standard & Poor's, dan Fitch Ratings.
Penerbitan global bond itu merupakan yang kali pertama menggunakan format SEC-Registered.
Terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira menuturkan, implikasi pre-funding sebenarnya kurang bagus jika dikaitkan dengan dampak ekonomi secara makro.
Pertama, pre-funding menimbulkan crowding out effect atau perebutan likuiditas antara jasa keuangan dan pemerintah.
Likuiditas di pasar tersedot ke kantong pemerintah.
’’Akibatnya, untuk mempertahankan dana simpanan, perbankan memberikan bunga yang tinggi kepada nasabah,’’ kata Bhima.
Kedua, lanjut Bhima, kredibilitas anggaran pemerintah bisa tercoreng. Jika utang ditarik lebih dulu, artinya pemerintah tidak percaya defisit anggaran 2018 bisa terjaga.
Ada kekhawatiran target tahun depan meleset. Hal tersebut bisa menciptakan keraguan di mata investor.
Ketiga, beban utang akan meningkat cukup signifikan. Yang terakhir, kata Bhima, pre-funding juga kurang tepat dilakukan saat rupiah melemah.
’’Bunga yang dibayar menjadi lebih mahal,’’ imbuhnya. (ken/c22/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... IMF Koreksi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Redaktur & Reporter : Ragil