Pemerintah Tetapkan Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau Tahun 2021

Kamis, 10 Desember 2020 – 21:27 WIB
Sri Mulyani. Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2021.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kebijakan ini selaras  dengan visi misi Presiden Republik Indonesia yaitu “SDM Maju, Indonesia Unggul", melalui komitmen pengendalian konsumsi demi kepentingan kesehatan.

BACA JUGA: Bea Cukai Tampung Aspirasi Asosiasi Petani Tembakau Terkait Rencana Kenaikan Tarif

Namun, juga perlindungan terhadap buruh, petani, dan industri dengan meminimalisir dampak negatif kebijakan, sekaligus melihat peluang dan mendorong ekspor hasil tembakau Indonesia.

Mulyani menjelaskan ada beberapa pokok kebijakan cukai hasil tembakau tahun 2021.
Pertama, hanya besaran tarif cukai hasil tembakau yang berubah.

BACA JUGA: DJBC: Sosialisasi Pita Cukai Tekan Peredaran Rokok Ilegal

Hal itu mengingat 2021 merupakan tahun yang berat bagi hampir seluruh industri,  termasuk hasil tembakau.

Kedua, skmplifikasi digambarkan dengan memperkecil celah tarif antara sigaret kretek mesin (SKM) golongan II A dengan SKM golongan II B, serta sigaret putih mesin (SPM) golongan II A dengan SPM golongan II B.

BACA JUGA: Sri Mulyani Sebut Bea Cukai Adalah Aset Berharga Indonesia

Ketiga, besaran harga jual eceran di pasaran sesuai dengan kenaikan tarif masing-masing.

"Pemerintah menetapkan rata-rata tertimbang dari kenaikan tarif cukai per jenis rokok adalah sebesar 12,5 persen," kata Sri dalam siaran pers, Kamis (10/12).

Pemerintah juga telah menetapkan untuk tidak menaikkan tarif cukai sigaret kretek tangan (SKT), berdasar pertimbangan situasi pandemi Covid-19 dan serapan tenaga kerja oleh industri hasil tembakau (IHT).

Secara terperinci, kenaikan tarif cukai SKM adalah 16,9 persen untuk golongan I, 13,8 persen untuk golongan II A, dan 15,4 persen untuk golongan II B.

Sementara jenis SPM adalah 18,4 persen untuk golongan I, 16,5 persen untuk golongan II A, dan 18,1 persen untuk golongan II B.

Menurut Ani, sapaan akrabnya, kebijakan ini diambil pemerintah melalui pertimbangan terhadap lima aspek.

Kelima aspek itu adalah kesehatan terkait prevalensi perokok, tenaga kerja di industri hasil tembakau, petani tembakau, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan.

Ia menjelaskan, berangkat dari kelima aspek tersebut, pemerintah berupaya untuk dapat menciptakan kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang inklusif.

"Kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap masing-masing aspek pertimbangan," katanya.

Dia menjelaskan melalui aspek kesehatan, kenaikan tarif akan menaikkan harga jual yang akan berdampak pada pengendalian konsumsi rokok, penurunan prevalensi merokok yang secara umum diharapkan menurun dari 33,8 persen menjadi 33,2 persen di 2021.


Selain itu, katanya, diharapkan pula penurunan prevalensi merokok anak golongan usia 10 hingga 18 tahun yang ditargetkan turun menjadi 8,7 persen di  2024 dari 9,1 persen di 2020.

Dari aspek ketenagakerjaan, pemerintah berupaya melindungi keberadaan industri padat karya dalam penyusunan kebijakan cukai hasil tembakau 2021.

"Format kebijakan di atas tetap mempertimbangkan jenis sigaret (terutama SKT) yang sangat berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja langsung sebesar 158.552 orang," katanya.

Dari aspek pertanian, lanjut Ani, besaran kenaikan tarif cukai memperhatikan tingkat serapan tembakau lokal.

Oleh sebab itu, kenaikan tarif cukai sigaret kretek lebih rendah dari kenaikan tarif cukai sigaret putih. "Bahkan SKT tahun ini tidak mengalami kenaikan," tegasnya.

Sehingga, lanjut Ani, diharapkan tingkat penyerapan tembakau lokal dapat terjaga,  mengingat terdapat lebih dari 526 ribu kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya dari pertanian tembakau.

Dari aspek industri terdapat bantalan kebijakan untuk usaha mikro, kecil, dan nenengah (UMKM) dengan mengalokasikan dana bagi hasil cukai hasil tmbakau (DBHCHT) untuk membentuk Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) sebagai langkah preventif terhadap peredaran rokok ilegal.

"Dari aspek peredaran rokok ilegal, agar kebijakan tidak menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal," lanjut Ani.

Menurutnya, upaya pengawasan dan penindakan akan terus ditingkatkan baik yang bersifat preventif melalui sosialisasi dan pendirian KIHT, dan represif melalui kegiatan Operasi Gempur Rokok Ilegal, Operasi Jaring, Patroli Laut.

"Serta berbagai kegiatan penindakan yang sinergis dengan aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya," jelasnya.

Dari aspek penerimaan, meskipun kebijakan tarif cukai hasil tembakau dititikberatkan pada pengendalian konsumsi, kebijakan cukai yang diambil mampu mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. "Target penerimaan cukai dalam APBN tahun 2021 sebesar Rp 173,78 triliun," ungkap Ani.

Ani menjelaskan untuk memastikan tercapainya tujuan kebijakan cukai hasil tembakau di atas, dan meredam dampak kebijakan yang tidak diinginkan, pemerintah membuat bantalan kebijakan dalam bentuk pengaturan ulang penggunaan DBHCHT.

Menurutnya, 50 persen akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani atau buruh tani tembakau dan buruh rokok.

Dari alokasi ini, lanjut Ani, sebesar 35 persen akan diberikan melalui dukungan program pembinaan lingkungan sosial yang terdiri dari bantuan langsung tunai (BLT) kepada buruh tani tembakau dan buruh rokok.

Kemudian, 5 persen untuk pelatihan profesi kepada buruh tani atau buruh pabrik rokok. Termasuk bantuan modal usaha kepada buruh tani atau uruh pabrik rokok yang akan beralih menjadi pengusaha UMKM.

Serta 10 persen untuk dukungan melalui program peningkatan kualitas bahan baku.

Alokasi lainnya yaitu sebesar 25 persen adalah untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional.

Kemudian 25 persen untuk mendukung penegakan hukum dalam bentuk program pembinaan industri, program sosialisasi ketentuan di bidang cukai, serta program pemberantasan barang kena cukai ilegal.

Untuk mencegah kebijakan menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal, upaya pengawasan dan penindakan akan terus ditingkatkan, baik yang bersifat preventif maupun represif.

Hingga 30 November 2020, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai unit di bawah Kemenkeu, telah melakukan penindakan sebanyak 8.155 kali dengan rata-rata 25 tangkapan per hari.

Penindakan tersebut berhasil mengamankan 384,51 juta batang rokok ilegal atau senilai dengan Rp 339,18 miliar.

Meskipun dalam situasi pandemi, kegiatan pengawasan dan penindakan dibandingkan tahun sebelumnya meningkat 41,23 persen secara year on year (yoy).

Berdasar hasil survei rokok ilegal oleh Unit Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (P2EB UGM), tingkat peredaran rokok ilegal 2020 sebesar 4,86 persen.

Dengan pertimbangan kompleksitas, struktur industri, cakupan luasan pengawasan, dan keterbatasan pergerakan karena pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), maka hasil tersebut sangat baik.

Terutams jika dibandingkan dengan tingkat peredaran rokok ilegal di negara-negara lain, khususnya di ASEAN.

Selanjutnya, pemerintah akan terus mendorong ekspor hasil tembakau Indonesia karena memiliki daya saing tinggi.

Data empat tahun terakhir menunjukkan tren ekspor SPM meningkat.

Ekspor SPM di 2019 mencapai 81,4 miliar batang, melonjak dari 70,9 miliar batang di 2016.

Untuk mendukung ekspor hasil tembakau, pemerintah telah memberikan fasilitas berupa penundaan pembayaran pita cukai untuk penjualan lokal bagi perusahaan yang dominan melakukan ekspor dari normalnya 60 hari menjadi 90 hari, fasilitas Kawasan Berikat (KB), dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

Kebijakan ini akan berlaku pada 1 Februari 2021. Saat ini, peraturan terkait Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 2021 sedang dalam proses perundangan dan dalam waktu dekat akan segera diundangkan.

Pemerintah akan memastikan proses transisi dari kebijakan CHT tahun 2020 menuju 2021 akan berjalan tanpa hambatan.

"Pada kesempatan pertama setelah diundangkan, DJBC dan pihak terkait akan melakukan sosialisasi aturan terkait. Di saat yang sama, DJBC juga membentuk satuan tugas untuk mengawal proses transisi," katanya.

Menurutnya, pemerintah berkomitmen tetap mengedepankan industri padat karya dan yang menggunakan konten lokal yang tinggi, antara lain tembakau lokal dan cengkeh.

Pemerintah juga siap mendorong dan memfasilitasi industri hasil tembakau yang memiliki potensi untuk mendorong kegiatan ekspor, sesuai dengan agenda program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

"Melalui bauran kebijakan yang dikeluarkan bersamaan dengan kebijakan tarif cukai hasil tembakau, pemerintah berharap industri hasil tembakau akan pulih di tahun 2021," pungkasnya. (*/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler