Pemerintah Tidak Boleh Lupa, 90 Persen Pekerja Industri Tembakau Adalah Perempuan

Selasa, 31 Maret 2020 – 21:23 WIB
Petugas Bea Cukai saat mengamati pekerja di pabrik rokok. Foto: Bea Cukai

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah diharapkan menciptakan peraturan dan kebijakan yang mendukung keberlangsungan sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) nasional. Industri Hasil Tembakau merupakan salah satu sektor strategis domestik yang terus memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian.

Selain menyumbang pendapatan negara, sektor ini juga aktif membantu penyerapan tenaga kerja, khususnya di kelompok masyarakat dengan pendidikan relatif rendah dan keterampilan terbatas.

BACA JUGA: HJE Naik, Serikat Pekerja Desak Pemerintah Lindungi Buruh Industri Hasil Tembakau

“Jika bicara soal pembagian gender, sektor IHT kita ini menyerap banyak tenaga kerja khususnya perempuan, misalnya pada produksi rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT). SKT sebagai produk olahan tembakau merupakan salah satu pilihan lapangan kerja bagi mereka yang tidak mempunyai kesempatan melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi,” kata Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi, di Jakarta, Rabu (25/3).

Saat ini, industri tembakau di Indonesia memiliki tiga jenis produksi hasil tembakau yang dilegalkan, antara lain Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Adapun mayoritas pekerja yang terlibat di industri ketiga jenis rokok tersebut masih didominasi oleh perempuan, yang mayoritas berusia muda hingga paruh baya.

BACA JUGA: Para Ibu Harus Waspada, Kini Pengedar Tembakau Sintetis Menyasar Anak-Anak

Terkait dengan sebaran wilayah, riset World Bank tahun 2018 menyatakan, lapangan kerja di pabrikan tembakau 94 persen terkonsentrasi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Lebih spesifik, terdapat beberapa daerah yang mayoritas menggantungkan serapan tenaga kerja di IHT seperti Kudus (30 persen), Temanggung (27,6 persen) dan Kediri (26 persen).

Industri tembakau berkontribusi dengan menghasilkan pendapatan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT) dan menciptakan lapangan kerja dengan multiplier effect, tidak hanya bagi petani, namun sampai pengepul, pengoven, pemasar, sampai dengan ke pekerja pabrikan.

BACA JUGA: Cukai & HJE Rokok Naik, Pemerintah Diminta Perhatikan Nasib Industri Hasil Tembakau

Menurut Djoko, rantai pasik yang panjang ini membuat sektor IHT menjadi sangat strategis dalam menekan angka pengangguran di daerah. Sektor IHT dari hulu hingga hilir menyerap lebih dari 6 juta orang pekerja langsung.

“Untuk paguyuban MPSI sendiri, tenaga kerjanya sekitar 100.000 tersebar di Pulau Jawa dan sebagian besar didominasi perempuan. Sebaiknya pemerintah dalam membuat kebijakan yang bisa menjaga keberlangsungan bisnis industri tembakau,” paparnya.

Pendidikan yang rendah dan keterbatasan keterampilan makin menyulitkan pekerja terserap di sektor lain, apabila sektor IHT makin terpuruk. Padahal, banyak dari mereka yang merupakan tulang punggung keluarga. Kerentanan pekerja perempuan atas penurunan IHT setiap tahunnya perlu dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah. Pemberlakuan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 35 persen yang diresmikan di awal tahun juga secara tidak langsung menjadi faktornya lesunya kinerja industri yang berdampak pada efisiensi.

Dalam diskusi bulanan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM)[1] Dr. Ratna Saptari memaparkan risetnya di kota Surabaya dan Jombang, "Kebanyakan yang bekerja sebagai buruh di industri rokok adalah perempuan. Mereka menjadikan IHT sebagai sumber penghasilan utama bagi keluarga. Selain itu, banyak dari mereka yang telah bekerja sebagai buruh selama lebih dari 10 tahun," ujarnya.

Disinggung soal perlindungan dari pemerintah, Kasubdit Industri Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Mogadishu Djati Ertanto mengakui, tidak mudah bagi pemerintah untuk merevisi kebijakan yang berdampak bagi jutaan orang pekerja di IHT.

Berdasarkan data Kemenperin, saat ini jumlah pabrikan rokok yang beroperasi di Indonesia berjumlah 700-an, mulai dari pabrik skala kecil sampai industri besar yang mempekerjakan sekitar 700 ribuan tenaga kerja. Selain itu, jumlah petani tembakau yang memasok kebutuhan bahan baku IHT jumlahnya 500 ribu-600 ribuan orang, ditambah 1 jutaan lebih petani cengkeh.

“Belum lagi masyarakat yang berdagang rokok, dan para pekerja di sektor ritel. Tentu tidak mudah merevisi kebijakan yang akan berdampak pada IHT nasional. Apalagi tahun 2018 IHT menyumbang pendapatan negara dalam bentuk cukai sekitar Rp 180 triliun dan pajaknya Rp 190 triliunan. Jadi hampir 10% APBN kita itu didanai oleh IHT,” tegasnya.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang dan 90% adalah perempuan, terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan. Kedepan, pemerintah diharapkan dapat memberikan kejelasan bagi seluruh pelaku IHT khususnya dalam merumuskan peraturan yang stabil serta mempertimbangkan aspek perlindungan kepada pekerja di dalamnya. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler