jpnn.com, JAKARTA - Saat ini, Pemerintah sedang berupaya untuk mewujudkan kemandirian pangan dan meningkatkan kesejahteraan peternak sapi perah.
Salah satu upaya yang dilakukan, yaitu dengan menerbitkan Permentan No. 26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.
BACA JUGA: Cadangan Beras Pemerintah Perkokoh Kedaulatan Pangan
“Permentan Nomor 26 ini mengatur pemenuhan kebutuhan protein hewani, mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan produksi susu nasional dan meningkatkan kesejahteraan peternak,” kata Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Fini Murfiani pada Acara Sosialisasi Pedoman Teknis Pelaksanaan Permentan No. 26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu di Auditorium Gedung D, Kanpus Kementerian Pertanian.
"Untuk mewujudkannya, maka kontribusi pemanfaatan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) harus ditingkatkan," lanjut Fini di hadapan 150 peserta yang berasal dari Kementerian Koperasi dan UMKM, Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kementerian Pertanian, Industri Pengolahan Susu (IPS), Importir Susu dan Produk Susu, Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS), Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Asosiasi atau Yayasan yang bergerak dibidang peternakan ataupun perlindungan konsumen, Tim Nilai Tambah dan Daya Saing Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, dan beberapa Dinas Provinsi yang membidangi fungsi peternakan.
BACA JUGA: Bulog Harus Gerak Cepat Serap Gabah Petani
Menurut Fini, dunia persusuan nasional pernah mengalami masa kejayaan sehingga pada tahun 1990-an SSDN dapat berkontribusi sebesar 41% atas kebutuhan susu nasional.
Dia menyebutkan, seiring diberlakukannya INPRES No 4/1998 kontribusi SSDN menurun tahun demi tahun, hingga pada tahun 2017 produksi SSDN hanya mampu memasok sebesar 20,74%(BPS) atau 922,97 ribu ton dari total kebutuhan nasional sebesar 4.448,67 ribu ton setara susu segar.
BACA JUGA: Petani Tak Produktif, Amran Ancam Tarik Alsintan
“Untuk mememenuhi kebutuhan tersebut, kekurangannya sebesar 3.525,70 ribu ton (79,26 %) harus dipenuhi melalui importasi,” imbuhnya.
Fini mengatakan, sejak penerbitan INPRES Nomor 4 tahun 1998, Pemerintah seolah-olah tidak hadir dalam dunia persusuan nasional. Peternak bergelut sendiri memecahkan permasalahan mereka hingga pada titik dimana beternak sapi perah bukan lagi usaha yang menjanjikan secara ekonomi.
Peternak perlahan meninggalkan bisnis susu untuk mencoba usaha di bidang lain, ternak mulai dijual atau dijadikan ternak potong atau dikawinkan dengan sapi jenis lain agar dapat lebih bernilai ekonomi. Keadaan itu menyebabkan penurunan jumlah peternak, penurunan populasi sapi perah yang berdampak pada penurunan produksi SSDN.
Produktivitas dan kualitas susu menurun karena kurangnya pembinaan dan bimbingan teknis sehingga posisi tawar peternak sapi perah melemah, harga susu tidak dapat menutup biaya produksi, sementara itu harga susu internasional lebih rendah, sehingga Industri Pengolahan Susu (IPS) lebih mengutamakan penggunaan susu impor untuk bahan baku produksinya.
“Keadaan ini harus diperbaiki dengan tools yang paling memungkinkan adalah melalui program Kemitraan yang dituangkan dalam Permentan Nomor 26 tahun 2017,” jelas Fini.
Dia menjelaskan, sebagai implementasinya telah diterbitkan Pedoman Teknis Penyediaan dan Peredaran Susu yang menjadi acuan dalam: 1). pelaksanaan kemitraan; 2). pelaksanaan penghitungan supply demand susu; dan 3) pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan implementasi Permentan dimaksud.
“Kemitraan diatur secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan peternak/gapoknak/koperasi, pembobotan sesuai kesepakatan, penilaian tergantung target dan realisasi. Penilaian kemitraan dilakukan oleh Tim Analisis Penyediaan dan Kebutuhan Susu dengan memperhatikan kelayakan dari kemitraan tersebut,” tambahnya.
Menurut Fini Murfiani, pada dasarnya IPS dan importir bahan baku susu dan produk susu mendukung program kemitraan sebagai salah satu kontribusi mereka dalam memajukan bidang persusuan di Indonesia.
“Beberapa IPS telah menjalankan kemitraan selama puluhan tahun dengan kelompok peternak/gapoknak/koperasi, sehingga dengan adanya pedoman teknis ini, kemitraan yang telah dilaksanakan dapat lebih terarah dan terukur dalam pengembangan persusuan nasional, terutama untuk mencapai kesejahteraan peternak.
Namun demikan, Fini mengungkapkan bahwa bagi importir, kemitraan merupakan hal baru, sehingga perlu panduan dan sinergi dari semua pihak agar kemitraan dapat dijalankan dengan efektif dan efisien.
Fini menyebutkan, Dinas Provinsi yang membidangi fungsi peternakan juga siap melaksanakan kegiatan kemitraan antara pelaku usaha dan kelompok peternak/gapoknak/koperasi dalam hal pembinaan dan pengawasan, serta pelaporan.
Selain itu, di katakan pula bahwa Gabungan Koperasi Seluruh Indonesia juga siap membantu program kemitraan dalam berkoordinasi dengan pelaku usaha dan kelompok peternak/gapoknak/koperasi agar kemitraan berjalan sesuai kebutuhan dan terarah.
Fini kembali menyampaikan, penerimaan proposal rencana kemitraan dari pelaku usaha diterima paling lambat pada akhir Februari 2018 dan akan dievaluasi oleh Tim Analisis Penyediaan dan Kebutuhan Susu pada Bulan Maret 2018 untuk diimplementasikan mulai Bulan maret 2018.
“Kemitraan yang memiliki prinsip saling ketergantungan, saling menguntungkan dan saling membutuhkan dalam konteks penyediaan dan peredaran susu adalah kemitraan yang output kegiatannya akan meningkatkan produksi SSDN yang berefek pada peningkatan kesejahteraan peternak baik melalui peningkatan produktivitas ternak, peningkatan kualitas susu, kemudahan akses permodalan, dan kemudahan pengembangan usaha” pungkasnya.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mekanisasi Pertanian Hemat Pengeluaran Rp 20 Triliun
Redaktur : Tim Redaksi