Membangun kembali reputasi Australia di mata para orang tua dari backpacker akan bisa membuat anak-anak muda dari seluruh dunia kembali mengunjungi Australia setelah pandemi.

Inilah salah satu yang diharapkan oleh Jane Coole untuk bisa mendapatkan pekerja di restoran miliknya yang terletak di kawasan regional di Australia Barat.

BACA JUGA: Epidemiolog Ungkap Alasan Dunia Makin Rentan Terserang Wabah dan Virus

Jane memiliki restoran di Esperance yang terletak 697 kilometer dari ibu kota Australia Barat Perth, dan sekarang kekurangan pekerja yang telah berlangsung sejak pandemi.

Saat ini keadaan masih sama, padahal turis sudah mulai kembali berkunjung ke wilayahnya, dan karena adanya pekerja yang terkena virus, Jane juga sempat menutup restorannya di masa-masa sibuk.

BACA JUGA: PM Australia Mau Bertemu Jokowi, di Rombongannya Ada Petinggi Monash University

Keadaan yang sama juga dialami pemilik lahan pertanian Mic Fels yang kehilangan pekerja akibat mereka pindah ke industri lain yang memberi bayaran lebih tinggi atau karena mereka sudah bosan bekerja di pertaniannya.

Dengan dihapuskannya kewajiban vaksinasi di Australia Barat sejak 10 Juni, para pemilik lahan pertanian dan kalangan bisnis lainnya berharap para pekerja dari negara bagian lain atau pun dari luar negeri berdatangan.

BACA JUGA: Bawa Agenda Penting, PM Baru Australia Mau Temui Jokowi

Namun menurut Simon Latchford, seorang praktisi wisata, Australia saat ini menghadapi tantangan untuk datangnya mereka yang mau berlibur sambil bekerja, yang biasanya disebut backpacker.

Masalahnya menurutnya adalah bagaimana menyakinkan para orang tua backpacker tersebut bahwa Australia adalah negara yang aman dan cocok bagi anak-anak mereka saat ini. Australia belum tentu aman

Latchford mengatakan sebelum memulai perjalanan, para backpacker sangat menggantungkan diri dari orang tua mereka dari sisi biaya.

"Saya menghabiskan waktu 13 tahun berkecimpung di industri backpacker di Queensland dan kadang terkejut dengan anak-anak muda berusia 22 tahun yang memiliki kartu kredit gold," katanya.

"Saya langsung berpikir, ini pasti bukan kartu kredit mereka sendiri, tapi kartu kredit tambahan dari orang tua  mereka."

Menurut Simon Latchford, saat ini banyak orang tua lebih khawatir dibandingkan anak-anak mereka mengenai rencana kepergian ke Australia.

Mereka, menurutnya, khawatir dengan apa yang terjadi bila anak mereka terkena COVID, apalagi kalau anak mereka pernah datang ke Australia semasa pandemi di mana peraturan lockdown yang sangat ketat selama dua tahun terakhir.

"Beberapa orang mungkin saat ini tidak merasa nyaman mengenai Australia saat ini," katanya.

"Akan ada orang yang sekarang berpikir "benteng yang dibangun Australia" untuk mencegah masuknya COVID sebagai hal yang terlalu berlebihan."

Namun dia mengatakan berbagai badan pariwisata di Australia sekarang sedang bekerja keras guna memasarkan Australia secara internasional dan para backpacker tersebut nantinya bakal kembali lagi.

Per tanggal 15 Mei, sudah ada 32.796 backpacker internasional yang sudah berada di Australia, peningkatan 40 persen sejak perbatasan internasional dibuka 22 November lalu.

Namun 46.100 pemegang  visa bekerja sambil berlibur yang dikenal dengan nama WHV masih belum datang ke Australia. Perlunya perubahan kebijakan visa

Petani pemilik lahan Mic Fels meyerukan adanya aksi segera dari pemerintah yaitu gugus kerja darurat untuk mempercepat proses pengeluaran visa bagi pekerja terampil.

Kepala bidang petani gandum di Asosiasi Petani Australia Barat tersebut mengatakan rekan-rekan petani lain sekarang sangat khawatir karena pekerja penuh waktu mereka sebelumnya sekarang setelah pandemi berlalu pindah ke industri lain yang memberi bayaran lebih tinggi seperti pertambangan dan bisnis konstruksi.

Dia mengatakan yang lainnya berhenti karena mereka sudah jenuh bekerja karena selama ini mereka bekerja terlalu berat karena tidak ada pekerja lain yang membantu.

"Pemilik lahan ini dulunya selama dua tahun harus bekerja keras dan bertahan hidup, namun sekarang mulai kehilangan pekerja penuh waktu sementara pengganti mereka tidak tampak akan muncul," katanya.

 

Pemerintahan baru di Australia sudah memiliki rencana untuk menutup kekurangan pekerja tersebut, dengan memperbaiki sistem Pergerakan Buruh Pasifik (PALM), dengan perbaikan kondisi bagi mereka untuk bisa datang namun menurut Fels para pekerja tersebut besar kemungkinan tidak akan memiliki keterampilan yang dibutuhkan bekerja di ladang pertanian lahan besar.

"Negara-negara Pasifik bukanlah asal dari para pekerja pertanian yang memiliki keterampilan," katanya.

Namun untuk saat ini, seorang juru bicara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia mengatakan skema mendatangkan pekerja dari Pasifik tersebut akan menjadi  sumber utama guna mengisi kekosongan pekerja di wilayah pedesaan dan regional Australia.

Diperkirakan sudah ada 52 ribu pekerja yang sudah menjalani pemeriksaan awal dan siap bergabung dengan 24 ribu pekerja yang sudah ada di Australia.

Namun Mic Fels mengatakan juga bahwa rencana pemerintahan sebelumnya di bawah PM Scott Morrison bagi adanya Visa Pertanian juga bukan kebijakan yang tepat karena akan mendatangkan pekerja asal Asia Tenggara, kawasan yang tidak terbiasa dengan sistem pertanian lahan besar.

Dia mengatakan solusi jangka pendek yang lebih memadai adalah mempercepat jalur visa yang sudah ada guna mendatangkan pekerja dengan keterampilan diperlukan untuk bisa masuk ke Australia.

Juru bicara Departemen Dalam Negeri Australia mengatakan mereka sudah memberikna prioritas percepatan visa bagi lapangan kerja yang masuk dalam  kategori kritis dan termasuk di dalamya adalah sektor pertanian.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... China Makin Seenaknya di LCS, Pesawat Australia Nyaris Celaka

Berita Terkait