Akhir pekan lalu, warga Timor Leste sudah memberikan suara mereka dalam pemilihan umum dan perhitungan suara masih dilakukan hingga kini.

Bagi warga Timor Leste, seperti Armanda Ferriera, usia 63 tahun, berbicara soal masa depan negaranya tidak bisa terlepas dari perjuangan demi meraih kemerdekaan Timor Leste.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: TikTok Dituntut Negara Bagian Montana Amerika Serikat

Saat Armanda menceritakannya, ia tidak bisa menahan air matanya, yang juga menjadi air mata kemarahannya.

"Sangat sulit bagi saya untuk berbicara tentang saat itu," kata Armanda yang tinggal di sebuah desa di luar ibu kota Dili.

BACA JUGA: Jumlah Kepala Daerah Mundur Jelang Pemilu Bertambah

Saat itu ia masih remaja, tapi pernah disandera, diperkosa, dan dipukuli dengan kejam oleh pasukan Indonesia yang disebutnya menjajah Timor-Leste.

Kejadian tersebut terjadi 10 hari setelah Timor Leste pertama kali mendeklarasikan kemerdekaannya dari Portugal pada tahun 1975.

BACA JUGA: Jokowi Dinilai Kerap Cawe-Cawe Urusan Kontestasi Politik, Pengamat Ingatkan Dampak Negatif

Ketika melarikan diri ke hutan, Armanda menyaksikan bagaimana teman-temannya mati kelaparan.

Ia mengaku jika perasaannya bercampur aduk ketika akhirnya Timor Leste merdeka dari Indonesia di tahun 2002.

"Saya senang karena sekarang kami memiliki kebebasan dan tidak takut lagi," katanya.

"Tetapi pada saat yang sama, saya merasa kasihan kepada teman-teman saya yang telah mengorbankan hidup mereka untuk negara ini."

Setelah merdeka, Timor Leste tidak menerima demokrasi begitu saja dan kehidupan politik terus berkembang dengan dinamis.

"Menang atau kalah, saya memilih Fretilin karena orang menderita dan orang mati atas nama Fretilin," kata Armanda.

Ia mengacu pada partai politik besar tertua di Timor-Leste, Front Revolusioner untuk Timor Timur Merdeka, atau yang dikenal sebagai Fretilin.

Pemimpin partai Mari Alkatiri menjadi perdana menteri pertama Timor Leste setelah bertahun-tahun diasingkan semasa pendudukan Indonesia.

Mari mengatakan ia merasa prihatin melihat keadaan bangsanya selama 21 tahun terakhir.

"Masyarakat masih hidup dalam kemiskinan," katanya.

Untuk menang, ia harus mengalahkan sesama pahlawan perlawanan: mantan pejuang gerilya dan presiden pertama Timor Leste, Xanana Gusmão.

Jajak pendapat lokal menyebutkan, partai Xanana, yakni Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor, atau CNRT, disebut sebagai partai favorit.

Terkenal karena karismanya, Xananan menghibur ribuan orang di hari terakhir kampanye Jumat pekan lalu.

"Kita perlu menyelesaikan masalah negara … rakyat sudah lelah," katanya kepada ABC.Pemuda memegang masa depan

Pemilihan saat ini kemungkinan akan menjadi pertarungan terakhir bagi dua pejuang kemerdekaan Timor Leset, namun kini menjadi lawan sengit dalam panggung politik.

"Mereka pasti sudah berumur sekarang," kata Profesor Michael Leach dari Swinburne University, seorang pakar politik Timor.

"Xanana Gusmão akan berusia 80 tahun pada tahun 2026. Dan yang lainnya tidak jauh di belakangnya."

Ini adalah faktor yang membuat keduanya semakin 'ngotot' untuk menang.

Tapi masa depan mereka sebagian besar ada di tangan para pemuda Timor,  yang  berjumlah sekitar 75 persen dari populasi pemilih.

Untuk kelompok usia ini, para analis mengatakan, perlu ada rencana yang kuat untuk meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan pendidikan. Hal ini menjadi lebih ketimbang sebelum kemerdekaan Timor Leste.

Timor Leste memiliki masalah kemiskinan, pengangguran dan standar kesehatan dan pendidikan yang buruk.

Banyak anak muda terpaksa pindah ke Australia, Korea Selatan, dan Eropa untuk mencari pekerjaan.

"Saya datang ke sini untuk berpartisipasi dalam kampanye ini karena saya tahu bahwa CNRT memiliki masa depan yang cerah bagi para pelajar dan mereka memiliki rencana besar untuk studi kami," kata Fabrizio Noronha, pemilih pemula.

Pekan lalu, musik dan tarian digelar setiap hari, dan orang-orang terlihat mengibarkan bendera dan membunyikan klakson.

Bahkan seekor "buaya Fretilin" dapat terlihat di tengah-tengah kampanye.

"Pemilu di Timor-Leste seperti pesta besar," kata Andrea Fahey, analis politik Timor Leste dari Australian National University.

Mereka merayakan demokrasi dan kemerdekaan dengan cara mereka sendiri yang istimewa.Ekonomi merosot

Pemimpin Timor Leste selanjutnya menghadapi tugas sulit untuk menyelamtakan Timor-Leste dari jurang masalah keuangan, dengan pendapatan minyak dan gas diperkirakan akan menurun dalam dekade berikutnya.

"Masalah ini bisa segera menimbulkan krisis bagi warga Timor Leste, krisis ekonomi, dan kemungkinan besar krisis politik," kata Andrea.

Dalam kampanyenya, Xanana mengatakan solusi ekonomi ada pada ladang minyak dan gas yang membentang di lautan antara negaranya dan Australia yang belum dimanfaatkan.

Timor Leste, yang memiliki 56 persen saham di Proyek Greater Sunrise, tidak menemukan titik tengah kesepakatan dengan perusahaan pertambangan Australia Woodside Energy tentang apakah akan memproses produk di Timor-Leste atau Darwin.

Xanana bersikukuh jika minyak dan gas harus diproses di dalam negeri, meski biaya pembangunan infrastruktur baru sangat besar.

Tiongkok belum secara terbuka menyatakan minat untuk ikut mendanai pembangunan, tetapi Profesor Leach mengatakan para pejabat Australia khawatir hal tersebut akan berubah.

Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris

BACA ARTIKEL LAINNYA... PAN Dinilai Pandai Membaca Suasana Hati Jokowi dan Situasi Politik

Berita Terkait