Pemimpin dan Idealisme Keagrariaan

Selasa, 26 Februari 2019 – 12:35 WIB
Pegiat Politik DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Anton Doni Dihen. Foto: Ist.

jpnn.com - Oleh: Anton Doni Dihen
Pegiat politik Partai Kebangkitan Bangsa, Wakil Direktur Program TKN Jokowi-Maruf Amin

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang sering disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), adalah puncak pencapaian sekaligus bentuk ekpresi tertinggi idealisme keagrariaan nasional. Walaupun wujud-wujud penerjemahannya dalam peraturan yang lebih jelas tidak seluruhnya mampu dihadirkan dalam badan undang-undang ini, tetapi cita-cita dan prinsip-prinsip dasarnya ternyatakan sedemikian rupa sehingga cukup mewakili harapan atas kedaulatan kebangsaan dan keadilan sosial.

BACA JUGA: SPI: Prabowo Subianto Tidak Punya Perhatian ke Reforma Agraria

Cita-cita keadilan sosial merupakan cita-cita yang kandungannya paling menonjol dalam undang-undang ini. Pernyataan tentang fungsi bumi, air, dan ruang angkasa “yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur” sudah langsung ditempatkan di konsiderans menimbang paling pertama. Fungsi ini juga masih dipertegas lagi pada konsiderans berpendapat kedua, dan dibuat semakin jelas pada bagian batang tubuh Undang-Undang sehingga muncul konsep fungsi sosial pada Pasal 6 melalui pernyataan ringkas tapi tegas “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”, dengan penjelasan yang agak panjang pada bagian penjelasan.

Penjelasan pada Bagian II.4. memperjelas pengertian fungsi sosial itu: “Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.

BACA JUGA: 6 Lokasi Dikaji jadi Quick Wins Percepatan Reforma Agraria

BACA JUGA: Infrastruktur dan Fantastika Jokowi

“Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akanterdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agrariamemperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.

BACA JUGA: Menag Berharap Pramuka Santri Jadi Pemimpin Masa Depan

“Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).

“Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan-hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang ekonomis lemah.”

Prinsip fungsi sosial ini ditopang dengan beberapa pasal teknis lain. Pada Pasal 7 dinyatakan bahwa “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.

Kemudian Pasal 9 ayat 2, menyatakan, “Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”

Pasal 17 lebih lanjut mengamanatkan pengaturan luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai oleh satu keluarga atau badan hukum, di dalam waktu yang singkat, dan tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.

Pengaturan mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan atas tanah merupakan unsur penting dari kepastian arah menuju keadilan sosial tersebut. Maka, walaupun UU Pokok ini tidak bisa mendefinisikan batasan itu dengan jelas, mandatnya untuk adanya peraturan perundangan baru guna mengatur batas kepemilikan dan penguasaan tanah pun segera dieksekusi pada tahun itu juga. Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang merupakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang kemudian ditetapkan, yang memuat pengaturan mengenai batas maksimum kepemilikan tanah.

Memang sampai dengan penetapan UU 56/1960 ini dan setelahnya kita mencatat beberapa keterbatasan dalam regulasi keagrariaan. Pertama, yang paling sederhana yang sudah dinyatakan oleh banyak ahli adalah bahwa pengaturan mengenai batas minimal luas kepemilikan tanah merupakan pengaturan yang tidak realistik. Stok lahan yang terbatas, sementara di sisi lain jumlah penduduk terus bertambah, memberikan kemungkinan yang terlalu sedikit untuk memastikan kepemilikan seluas 2 hektar untuk seorang petani atau satu keluarga petani.

Sampai hari ini, justru banyak sekali keluarga tani yang sulit memiliki lahan bahkan 0,5 hektar. Karena itu jalan keadilan sosial di luar jalan keagrariaan bagi petani gurem atau buruh tani harus disiapkan dengan baik. Akses Pendidikan untuk keluarga tani gurem agar anak-anak mereka tidak lagi bersandar pada lahan pertanian merupakan jalan yang harus diupayakan dengan serius.

Kedua, UU 56/1960 baru mengatur batas maksimum lahan untuk hak milik, dan tidak mengatur batas maksimum penguasaan tanah untuk hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pemanfaatan hasil hutan, dan jenis-jenis hak atas tanah lainnya. Dan setelah undang-undang ini, tidak ada undang-undang lagi yang mengatur pembatasan luas maksimum penguasaan tanah tersebut. Dengan demikian, maka tersedia kemungkinan yang terlalu lebar bagi siapapun juga pemimpin untuk menyalahgunakan wewenangnya, baik dengan cara yang terlembaga melalui peraturan perundang-undangan maupun dengan cara yang sembrono melalui praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan.

Ketiga, oleh karena ruang kosong yang tersedia berkaitan dengan batas luas maksimum penguasaan lahan, dan rumusan yang abu-abu dan karet tentang hubungan antara kekuasaan Negara dan kekuasaan organisasi masyarakat adat, maka kebijakan-kebijakan turunan dan sektoral di bidang kehutanan dan pertambangan menjadi liar dan membuka kemungkinan bagi kekuasaan pemilik modal, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Maka sebagaimana catatan Anton Lucas dan Carol Warren dalam Land for the People (2013), “Paradoxically the … legislation oversaw diametrically opposed policies of the Old Order Sukarno (1950-1965) and New Order Suharto (1966-1998) regimes”, Kebijakan dan perundangan setelah tahun 1960 banyak bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria.

BACA JUGA: Moratorium Pengiriman PMI Oleh Pemda: Antara Pembangkangan dan Jalan Perubahan

Keempat, sampai hari ini, setelah melihat dengan galau fakta penguasaan tanah yang luar biasa luasnya oleh segelintir orang, secara legal, kita pun belum mampu mengambil langkah apapun untuk mengevaluasi praktek-praktek penguasaan tanah tersebut dalam terang keadilan sosial.

Semestinya sampai hari ini, melampaui evaluasi teknis tentang pendapatan pajak dan PNBP dari semua sektor yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam kita harus bertanya, apakah fungsi sosial sudah optimal dicapai melalui model kebijakan keagrariaan seperti itu? Tidak adakah ruang untuk menciptakan model yang lebih inklusif, yang dapat lebih mengoptimalkan lagi fungsi sosial, melalui divestasi atau redistribusi sebagian lahan yang dikuasai, walau tetap mempertahankan ikatan bisnis dengan perusahaan inti pemegang hak sekarang?

Kelima, rumusan yang masih belum operasional mengenai hubungan antara kekuasaan Negara dan kekuasaan hukum adat merupakan sumber kerentanan yang harus segera diatasi. Kevakuman hukum yang mengatur tentang prosedur membangun hubungan hukum dengan masyarakat adat dan ketiadaan rumusan substantif mengenai hak-hak masyarakat adat merupakan kondisi yang memprihatinkan di tengah era yang ditandai dengan “nafsu” pertambangan ini.

Keenam, sampai pada titik ini, mestinya berbagai pengalaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sudah bisa membimbing kita untuk menentukan nilai intrinsik dari berbagai jenis sumber daya alam, dan dengan modal itu kita bisa membebankan fungsi sosial dengan lebih baik kepada berbagai model penguasaan sumber daya agraria. Berbasis pada nilai intrinsik itu juga kita dapat melakukan pembagian nilai yang lebih adil antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemilik suatu tanah ulayat. Dengan modal praktek di sektor kehutanan, misalnya, kita berharap ada kerja riset dan pengembangan ke depan yang ditujukan untuk mengembangkan formula-formula yang lebih akademis dan berperspektif dalam menentukan nilai intrinsik setiap jenis sumber daya agraria.

Pada akhirnya, di tengah keterbatasan yang melekat dalam perkembangan hukum agraria tersebut, dan di tengah berbagai komplikasi yang ditimbulkan karena pelaksanaan kebijakan keagrarian yang terlanjur semena-mena di bawah kekuasaan otoriter Orde Baru, maka adalah kepemimpinan yang baik yang bisa diandalkan untuk mengendalikan keadaan dan mengambil inisiatif untuk menjaga kedekatan antara cita-cita dan cita rasa keadilan sosial di satu sisi dan praktek keagrariaan yang sudah terlanjur “lari jauh” di sisi lain.

Kepemimpinan bercita rasa keadilan sosial sekurang-kurangnya mengoptimalkan setiap ruang yang tersedia yang dimilikinya, betatapun terbatas, untuk menunjukkan wujud-wujud nyata keadilan sosial. Apa yang dilakukan oleh pemerintahan sekarang, dalam bentuk legalisasi hak milik dan redistribusi lahan di bawah tema program Reforma Agraria, merupakan bentuk-bentuk “pendekatan” keadilan sosial yang minimal, di tengah ruang yang tersedia, walau secara historis harus dikatakan bahwa langkah-langkah tersebut cukup maksimal. Langkah yang lebih maksimal mestinya berkaitan dengan fakta penguasaan tanah yang luar biasa oleh segelintir orang dan pemilik modal besar.

Maka sehubungan dengan fakta penguasaan tanah yang luar biasa tersebut, yang tentunya legal berdasarkan regulasi keagrarian yang “lari jauh”, kita berharap munculnya kepemimpinan bercita rasa keadilan sosial yang lebih proaktif, yang menunjukkan contoh bagaimana mengoptimalkan fungsi sosial melalui divestasi dan redistribusi kekuasaan atas aset sumber daya agraria yang dikuasai. Agar rasa kesenjangan social mulai makin terkikis. Dan cita rasa keadilan sosial di dunia keagrariaan mulai makin terasa.

Sayangnya, kita menyesal karena contoh itu tidak muncul, dan dalam kaitan dengan kontestasi kepemimpinan nasional mutakhir, kita justru dikejutkan karena peluang itu semestinya ada dan dapat dikapitalisasi sebagai sesuatu yang bernilai politik tinggi. Tapi peluang itu nyatanya memang diabaikan, karena absennya inisiatif dan terpenjaranya mereka yang berpotensi kepemimpinan, dalam ruang kenikmatan menikmati kekuasaan atas sumber daya agraria, yang luasnya ternyata lumayan mencengangkan.****

BACA ARTIKEL LAINNYA... Iluni UI: Indonesia Butuh Pemimpin yang Mempersatukan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler