Australia dinyatakan "aman" membuka perbatasan internasional dan tidak perlu memberlakukan 'lockdown' setiap ada wabah penularan baru, jika  70 hingga 80 persen warga dewasa sudah mendapat vaksinasi COVID-19.

Pernyataan ini dikeluarkan oleh lembaga penelitian Doherty Institute hari Senin lalu (23/08), berdasarkan pemodelan dari penyebaran 30 kasus COVID-19.

BACA JUGA: Vaksin Covid-19 Ini Kantongi Izin Penggunaan Darurat dari BPOM

Menurut Profesor Lewin, tidak ada perbedaan besar ketika membuka diri di tengah terus bertambahnya kasus di negara bagian New South Wales dan Victoria.

"Mau membuka diri waktu jumlah [kasusnya] 30 atau 800, jumlahnya tetap saja akan bertambah," kata Profesor Lewin.

BACA JUGA: Alhamdulillah, 170 Pasien Covid-19 di Wisma Atlet Kemayoran Sembuh

Ini adalah pemodelan yang diikuti oleh Pemerintah Federal Australia, seperti disampaikan Perdana Menteri Scott Morrison.

"Di tingkat vaksinasi 70 persen dan 80 persen, Australia bisa keluar dari situasi yang benar-benar tidak bisa dipertahankan," katanya.

BACA JUGA: Saksi Perempuan Kedua Menuduh R Kelly Memaksa Berhubungan Seksual dengan Pria Lain di Hadapannya

Rencana ini disambut baik oleh Julie Jatnika, ketua Australia Indonesia Association South Australia (AIA SA) di Adelaide.

Menurutnya rencana ini akan memberikan semangat kepada warga Indonesia, khususnya para pemegang visa.

"Positifnya, visitor mancanegara dari mana-mana saja akan bisa masuk, apalagi dari Indonesia, khususnya para students, bisa bersekolah lagi di sini," kata Julie.

"Ini juga akan membawa keuntungan buat Australia yang bisa mengembalikan proses Working Holiday Visa dari Indonesia yang sempat tertunda."

Tak hanya itu, menurutnya warga Indonesia di Australia akan dapat mengunjungi keluarganya di tanah air.

"Teman-teman kita di sini banyak yang kehilangan keluarganya di Indonesia, mereka pengen pulang," kata Julie.

Atau pun sebaliknya, bagi pemegang visa penduduk tetap atau PR yang ingin kembali ke Australia tapi tidak bisa karena tidak banyak tiket pesawat yang tersedia.

"Kalau pun ada, mahal dan waiting list, mereka juga harus bayar sekitar A$3,000-5000 (Rp30 juta-50 juta) ya [untuk karantina]," ujarnya, yang juga mengatakan tak semua mampu membeli dengan harga tersebut. Dukungan dari komunitas Muslim di Victoria

Komunitas Muslim Indonesia di negara bagian Victoria, atau Indonesian Muslim Community of Victoria (IMCV) turut merasakan dampak 'lockdown' dan penutupan perbatasan internasional.

"Kami sangat paham alasan pemerintah untuk melakukan ini, karena untuk kebaikan kita, tapi pada satu sisi dampaknya juga cukup signifikan ya," kata Teguh Iskanto, Presiden IMCV.

"Pertama, centre kita pada tutup dan kegiatan fisik totally berhenti ... namanya manusia perlu interaksi, ketemu orang jauh lebih baik daripada support online."

Karenanya IMCV mendukung penuh keputusan Pemerintah Australia untuk bisa membuka kembali setelah tingkat vaksinasi tercapai. 

Teguh mengatakan keputusan Pemerintah Australia selama pandemi pun telah menjaga hak, terutama keberlangsungan hidup warganya berdasarkan saran pakar kesehatan dan sains.

"Yang namanya advice dari sains benar-benar diterima, jadi bukan melihat dari segi politis tapi benar-benar core message nya itu dari sains-nya." Pemilik restoran Indonesia berharap bantuan lebih

Untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, Australia mengalami resesi akibat pandemi COVID-19.

Data yang dikeluarkan September tahun lalu menyatakan perekonomian negara tersebut mengalami kontraksi selama dua kuarter berturut-turut.

Ini berdampak pada pelaku bisnis Australia, tidak terkecuali pemilik restoran Indonesia di New South Wales.

Menurut ketua Indonesian Restaurant Association (IRA) Sydney, berkurangnya jumlah turis dari negara lain menyebabkan "tidak sedikit restoran harus tutup".

"Hampir semua pelaku bisnis di Australia mengalami penurunan yang signifikan dalam hal penjualan makanan atau pun minuman," kata Natanael Suhendro, ketua Indonesian Restaurant Association (IRA) Sydney.

"Karena itu saya mendukung supaya perbatasan dapat segera dibuka kembali, tetapi masih harus ada persyaratan dan protokol kesehatan yang ketat."

Natanael memahami tantangan pemerintah dalam menangani pandemi, apalagi dengan munculnya varian Delta.

"Memang saat ini Pemerintah Australia sudah memberikan bantuan stimulus kepada semua pelaku bisnis khususnya di NSW, tapi bantuan ini masih jauh dari pendapatan yang biasa kami peroleh," katanya.

"Ditambah dengan besarnya biaya operasional yang harus kami keluarkan di negara Australia."

Menghadapi pembatasan akibat COVID-19, bisnis di NSW dengan pendapatan di bawah A$10juta (Rp1M) dapat mengklaim bantuan sebesar A$7,500 (Rp78 juta) dan A$15,000 (Rp157 juta) untuk menutupi kerugian akibat pembatasan sosial di tiga minggu pertama.

"Kami berharap Pemerintah Australia bisa memikirkan dan membantu lebih lagi supaya tidak ada lagi restoran yang harus tutup karena tidak kuat membayar uang sewa," kata Natanael.

Ia mengatakan pemerintah perlu "memprioritaskan para pelaku bisnis makanan dan minuman" dan memberikan kemudahan bagi mereka untuk kembali membuka restoran sesuai protokol kesehatan yang ketat. Apa yang terjadi bila Australia buka terlalu cepat?

Walau menjadi acuan Pemerintah Federal Australia, pemodelan Doherty Institute tidak disetujui oleh Asosiasi Medis Australia (AMA).

"Pastinya ada pemodelan lain selain dari Doherty," kata presiden AMA, Mark Duncan-Smith.

"Ada pemodelan lain yang menunjukkan bahwa [jumlah yang divaksinasi] harus mencapai 90 persen total populasi."

Penelitian dari Australian National University (ANU), University of Western Australia dan University of Melbourne memprediksi jumlah kematian akibat COVID-19 bisa mencapai 25.000 bila Australia membuka diri di saat 80 persen populasi orang dewasanya divaksinasi.

Sebanyak 270.000 kasus long COVID juga diprediksi akan muncul bila buka terlalu cepat.

Target tersebut belum termasuk anak-anak, yang menurut Dr Mark seharusnya diperhitungkan dalam pemodelan.

"Kalau cuma memvaksinasi 70 sampai 80 persen orang dewasa, jadinya hanya 56 persen dari total populasi yang tervaksinasi, dan ini belum termasuk anak-anak," katanya.

"Jika kita melonggarkan aturan di saat jumlah populasi yang divaksinasi baru 56 persen, tanpa anak-anak, akan muncul jumlah kematian anak yang tidak akan bisa diterima orangtua," katanya.

Julie dari AIA SA berharap agar prosedur karantina bisa "dipantau dan dimonitor" ketat sehingga tidak ada kebocoran kasus COVID-19.

Organisasi tersebut pun berusaha mendorong warga Indonesia agar cepat divaksinasi, seperti yang dilakukan IMCV.

Teguh mengatakan hanya ada segelintir anggota komunitasnya yang "khawatir" divaksinasi karena terpengaruh media sosial.

"Cara menguranginya adalah kita adakan advocacy, QnA, dan [mengundang] dokter yang mumpuni yang bisa ditanyakan," kata Teguh.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penipuan Berkedok Investasi Menggunakan Aplikasi di Australia Mengakibatkan Kerugian Miliaran Rupiah

Berita Terkait