jpnn.com - Di hari-hari pertamanya sebagai presiden Singapura, Halimah Yacob sudah harus bersiap menghadapi tekanan. Penolakan terdengar di mana-mana.
Tagar #NotMyPresident bahkan juga diwujudkan dalam aksi jalanan. Penyebabnya, dia dianggap terpilih melalui proses yang tidak demokratis.
BACA JUGA: Aksi Diam dan Tagar Not My President untuk Halimah Yacob
Halimah memang menjadi presiden berkat aturan pemerataan jatah kepada tiga etnis terbesar di Singapura.
Pemungutan suara akhirnya tak diadakan karena dua kandidat yang menjadi pesaing tidak lolos seleksi administrasi.
BACA JUGA: Halimah Pilih Apartemen Pink Ini ketimbang Istana Presiden
Tapi, benarkah hanya persoalan prosedur demokrasi yang jadi pemicu tekanan tersebut? Jangan-jangan ada persoalan lain yang lebih besar dari itu.
”Stereotipe gender dan tekanan sosial di banyak negara Asia masih menjadi faktor utama penghambat karir perempuan di berbagai bidang.” Demikian kesimpulan yang diambil dalam forum dialog Women in Leadership in Asia Pacific tahun lalu.
BACA JUGA: Emoji Perempuan Berjilbab Merah untuk Presiden Singapura
Mengacu kepada sejarah, Asia –meski sebagian wilayahnya masih berbalut konservatisme– produktif melahirkan pemimpin perempuan.
Sirimavo Bandaranaike, PM Sri Lanka tiga periode, adalah kepala negara/pemerintah pertama di dunia. Di Asia Tenggara saja, Thailand, Indonesia, Filipina –dan kini Singapura– pernah merasakan dipimpin kepala negara/pemerintah perempuan. Korea Selatan juga jadi pelopor di Asia Timur.
Di Hongkong, Carrie Lam menjadi chief executive perempuan pertama. Dan di Myanmar, semua tahu, presiden sesungguhnya adalah Aung San Suu Kyi kendati posisi resminya adalah penasihat negara.
Tapi, tak sedikit pula di antara mereka yang harus mengakhiri jabatan dengan pahit. Bahkan tragis.
Yingluck Shinawatra misalnya. Oleh kalangan oposisi, dia selalu dicitrakan sebagai boneka sang kakak, Thaksin Shinawatra. Hingga akhirnya dimakzulkan karena tudingan korupsi.
Benazir Bhutto adalah contoh lain. Kursi perdana menteri (PM) Pakistan memang dua kali didudukinya. Tapi, sedari awal menjabat, putri mantan PM Pakistan Zulfikar Ali Bhutto itu nyaris tak pernah lepas dari tekanan dan teror.
Hampir tiap kebijakannya ditentang. Sampai kemudian, hidupnya berakhir sebagai korban pembunuhan.
Cory Aquino juga harus menghadapi tekanan serupa nyaris sepanjang enam tahun kepemimpinannya di Filipina. Kudeta demi kudeta terus terjadi.
Ada beragam stereotipe yang masih menggelayuti pemimpin perempuan di Asia. Mulai dianggap lemah secara pendirian, kurang berani mengambil keputusan, sampai dibebani tanggung jawab domestik di rumah. Dan, semuanya itu yang akhirnya jadi senjata para musuh politik untuk menyerang.
Oleh para pakar, fenomena tersebut dinamakan glass ceiling. Ada tapi tak terlihat secara kasatmata. Naomi Denning, chairperson Inclusion & Diversity Council for Asia, menegaskan bahwa masyarakat modern harus bekerja sama mendobrak glass ceiling.
”Absennya para perempuan dari tangga kepemimpinan bisa melahirkan dampak jangka panjang yang tidak menyenangkan bagi kesetaraan gender,” papar Denning sebagaimana dilansir situs asianentrepreneur.
Itulah yang membedakan mereka dengan para kolega di Eropa. Bukannya mereka tak mengalami tekanan. Tapi, demokrasi yang telah matang dan mapan menyebabkan tegaknya kesetaraan hak dan gender.
Kanselir Jerman Angela Merkel, misalnya, bisa dibilang merupakan pemimpin paling kuat dan berpengaruh di dunia saat ini.
Merkel seperti menjadi ”perempuan besi” berikutnya setelah Margaret Thatcher, PM Inggris yang legendaris itu.
Lalu, akankah sentimen penolakan kepada Halimah Yacob membesar dan bisa berdampak pada pemakzulan seperti yang dialami Yingluck dan Park Geun-hye di Korsel?
Melihat latar belakang perpolitikan Singapura, sepertinya memang tidak. Tapi, apa yang dialami Yingluck, Park, Benazir bisa menjadi tempat becermin.
”Glass ceiling bisa disiasati lewat inovasi dan gaya kepemimpinan yang simpatik,” kata Denning. (BBC/usnews/hep/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga Kecewa Dengan Pemilu Singapura
Redaktur & Reporter : Adil