Pemprov Berhak Pungut Pajak Rokok 10 Persen

Senin, 26 Januari 2015 – 19:15 WIB
Pemprov Berhak Pungut Pajak Rokok 10 Persen. Tampak Pengawasan serta pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Balikpapan, Kalimantan Timur, yang menggagalkan barang selundupan berupa 70 karton rokok polos (batangan) atau sekitar 1 juta batang. Foto Gusti Ambri/Kaltim Post/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Kewenangan Pemerintah Provinsi untuk mendapatkan pendapatan kini diperluas. Selain pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, bahan bakar kendaraan bermotor dan air air permukaan, Pemprov juga diberi kewenangan memungut pajak rokok.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah mengatakan aturan ini tertuang dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Menurutnya, sejak per 1 Januari 2014, Pemprov punya kewenangan memungut pajak rokok sebesar 10 persen dari tarif cukai rokok.

BACA JUGA: Pengalaman Budi Karya Diyakini Bisa Perbaiki Angkasa Pura II

Sementara Pasal 27 sampai pasal 31 menyebutkan selain harus menyetorkan cukai rokok, produsen juga harus membayar pajak rokok 10 persen dari nilai cukainya. Masalahnya, penggunaan dana di derah sering tak tepat sasaran.
 
Namun, Maryati Abdullah mengingatkan, dengan mendapatkan limpahan dana pajak tembakau, Pemprov juga harus lebih fleksibel dari sisi penggunaannya. Misalnya, dana itu juga bisa dipakai untuk membantu petani tembakau atau industri tembakau di daerah. Tidak hanya digunakan untuk isu kesehatan alias untuk dampak eksternal dari tembakau saja.
 
"Tidak bisa dipungkiri dari sisi industri, ada industri kelas menengah ke bawah yang juga perlu dilindungi. Cukai rokok ini kan hampir setengah dari setoran migas nasional, angkanya mencapai Rp150 triliun, sangat signifikan," ujar Maryati, saat dihubungi wartawan, Senin (26/1).
 
Dengan adanya kapasitas fiskal yang bertambah, tentu saja pemerintah daerah juga harus membuat sektor prioritas dari dana PDRD yang didapat. Jangan sampai anggaran yang mencapai belasan triliun itu tidak jelas peruntukannya.
 
"Pengawasan anggaran itu perlu diperketat. Memang sistem anggaran sekarang sudah berbasis kinerja. Tapi harus jelas indikator penggunaan anggarannya, bisa dilihat publik kemudian sebaiknya partisipasi, masyarakat dilibatkan secara independen terkait penggunaan anggaran PDRD," tandasnya.
 
Terpisah, pengamat politik anggaran Uchok Sky Khadafi mengatakan, pemerintah hanya berpikir menambah pundi anggaran dan menafikan kepentingan petani tembakau.
 
"Pajak sektor tembakau rokok memang sangat besar tapi sayangnya tidak pernah dikembalikan lagi untuk kepentingan tembakau," tegas dia.  Ia mengingatkan, jangan sampai duit PDRD itu malah dipakai untuk perjalanan dinas pejabat dan rapat-rapat.
 
Uchok mengakui, selama ini isu PDRD dinilai syarat kepentingan dari industry farmasi. Dalam UU 28/2009 tentang PDRD, di pasal 31, menyebutkan penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan pali sedikit 50% untuk mendanai layanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
 
Menilik pasal 31 itu, Uchok pun mewanti-wanti pungutan pajak rokok dalam PDRD ini juga jangan pada akhirnya juga dinikmati oleh kepentingan industri farmasi dengan dalih dana PDRD harus dipakai untuk kepentingan kesehatan dengan dalih mengobati mereka yang sakit akibat rokok.
 
"Jadi regulasi PDRD untuk tembakau dua yang menikmati yakni pemda dan industri farmasi, sementara petani tidak sama sekali," tandasnya. (awa/jpnn)

BACA JUGA: Freeport Harus Bikin Warga Papua Sejahtera

BACA JUGA: Lewat PTSP, Izin Usaha Kini Lebih Mudah

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jadi Pejabat, Ayah Sherina Belum Punya Kantor


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler