Pemuda & Mahasiswa Buddha Sikapi Rencana Pemerintah Naikkan Tiket Masuk ke Candi Borobudur

Kamis, 09 Juni 2022 – 20:29 WIB
Ketua Umum PP Hikmahbudhi Wiryawan, Ketua Umum PATRIA Tedy Wijaya, Sekjen DPP Gemabudhi Pandu dan aktivis pemuda dan mahasiswa Buddha saat konferensi pers di Vihara Tao Se Bio, Glodok, Jakarta, Kamis (9/6). Mereka menyikapi rencana pemerintah menaikkan tarif tiket masuk ke Candi Borobudur. Foto: Dok. PP Hikmahbudhi

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah berencana menaikkan tarif tiket masuk ke Candi Borobudur seharga Rp 750 ribu untuk wisatawan lokal. Belakangan rencana itu dikaji ulang, lantaran menuai penolakan di masyarakat.

Organisasi kepemudaan dan mahasiswa Buddha, terdiri dari PP Hikmahbudhi, DPP Gemabudhi, DPP Patria dan DPP Dharmapala Nusantara ikut menyikapi rencana pemerintah menaikkan tarif tiket masuk ke Candi Borobudur.

BACA JUGA: Soal Tarif Baru Candi Borobudur, Luhut: Jangan Jadi Bangsa Nyinyir

Mereka menolak kenaikan harga tiket masuk ke Candi Borobudur dengan alasan konservasi.

“Sebab ancaman konservasi itu ada pada perilaku dan jumlah pengunjung ketika naik ke atas struktur bangunan candi, situs yang berusia lebih dari 1.000 tahun itu tentu membutuhkan perlindungan,” kata Ketua Umum PP Hikmahbudhi Wiryawan dalam konferensi pers di Vihara Tao Se Bio, Glodok, Jakarta, Kamis (9/6).

BACA JUGA: Soal Tiket Masuk Candi Borobudur, Pak Luhut Jangan Hantam Kromo Begitu

Menurut dia, jika kebijakan menaikkan tiket masuk dengan alasan konservasi, apalagi menjaga kesucian lokasi yang juga menjadi tempat ibadah bagi umat Buddha tersebut, maka pengunjung seharusnya sama sekali tidak diperbolehkan naik ke atas.

“Kecuali tamu khusus yang diizinkan pemerintah dan umat Buddha yang beribadah karena Candi Borobudur merupakan tempat suci bagi umat Buddha. Oleh karena itu, aturan mengunjungi tempat suci harus ditegakkan seperti situs suci atau tempat ibadah agama-agama yang ada di Indonesia," ujar Wiryawan.

BACA JUGA: Tiket Masuk ke Candi Borobudur Bakal Naik 1.500 Persen

Wiryawan menilai perumusan dan penetapan kebijakan pengelolaan Candi Borobudur kurang menggunakan pendekatan keagamaan yang berfungsi sebagai tempat peribadatan umat Buddha dan minimnya pelibatan komunitas umat Buddha.

“Hal ini menunjukkan adanya upaya komodofikasi, industrialisasi budaya, dan komersialisasi Candi Borobudur menjadi sebuah objek bisnis wisata belaka,” tegas Wiryawan.

Wiryawan menilai pengelolaan Candi Borobudur tanpa memperhatikan hak-hak umat Buddha yang menjadikan candi tersebut sebagai tempat beribadah.

“Aspek kebutuhan spiritual umat Buddha dalam hal ini tidak mendapat perhatian penuh,” ungkap Wiryawan.

Menurut dia, Candi Borobudur takkan seketika sunyi begitu tarif tinggi diberlakukan bagi turis.

Namun, kata Wiryawan, semangat menjaga kelestarian dan nilai kesakralan Candi Borobudur yang harus dikedepankan. Dengan demikian, solusi dari persoalan candi tersebut bisa didapat.

Ketua Umum PATRIA Tedy Wijaya menambahkan berapa pun harga yang dipatok pemerintah untuk naik ke atas candi tidak sebanding dengan potensi kerusakan dan nilai kesakralan Candi Borobudur.

“Oleh karena itu, pembatasan pengunjung dan regulasi kebijakan yang tepat bisa diterima oleh semua kalangan terutama umat Buddha sangatlah diperlukan,” kata Tedy Wijaya.

Lebih lanjut, pemuda dan mahasiswa Buddha ini menuntut agar pemerintah memberikan kejelasan atas SKB empat menteri dan kepala daerah tentang pengembalian situs Candi Borobudur sebagai tempat ibadah umat Buddha Indonesia dan dunia.

Mereka juga mendesak pemerintah untuk mengkaji serta menghentikan segala bentuk komodofikasi, indutrialisasi budaya dan komersialisasi Candi Borobudur yang mengancam kelestarian, kesakralan candi Borobudur sebagai tempat ibadah umat Buddha.

“Kami meminta pemerintah untuk melibatkan semua unsur komunitas umat, Buddha seperti organisasi kemasyarakatan, kepemudaan serta mahasiswa, dalam perumusan, dan penetapan kebijakan pengelolaan Candi Borobudur,” papar Tedy.

Organisasi kepemudaan dan mahasiswa Buddha pun meminta pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek, Kementerian Peristiwa dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Agama, dan pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan dan banyak menyerap SDM dari umat Buddha dalam pengelolaan Candi Borobudur.

“Pemerintah perlu melakukan evaluasi serta reformasi strukural, TWC dengan banyak memasukan SDM dari umat Buddha,” ujar ketua umum DPP Dharmapala Nusantara Kevin Wu.

Lebih lanjut, dia mendesak pengelola Candi Borobudur untuk memperbaiki sistem dan manajemen pelayanan Candi Borobudur sebagai fungsi wisata sejarah, edukasi dan fungsi ritual keagamaan, sehingga ada perbedaan dalam pelayanan maupun penetapan aturan/kebijakan.

Sekjen DPP Gemabudhi Pandu menginginkan pemerintah untuk fokus membuat kebijakan yang memperkuat sisi sprititual, kelestarian Candi Borobudur serta memberikan prioritas dan fasilitas khusus bagi pelajar maupun umat Buddha yang akan masuk/beribadah di candi Borobudur tanpa harus membayar atau gratis.

"Jangan sampai umat Buddha diberlakukan seperti tamu di rumah ibadah sendiri,” kata dia.

Mereka pun menolak segala bentuk peraturan/kebijakan yang menyulitkan umat Buddha untuk beribadah di Candi Borobudur.

Menurut Pandu, ormas mahasiswa dan pemuda Buddha juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan menutup bagian atas Candi Borobudur bagi wisatawan umum, terkecuali untuk alasan tamu khusus/negara yang diizinkan pemerintah, dengan alasan konservasi, edukasi, serta ritual ibadah umat Buddha.

Pandu juga mengimbau kepada seluruh komunitas Buddhis, organisasi Buddhis, sekolah-sekolah tinggi agama Buddha yang ada di Indonesia untuk bersama terlibat aktif dalam menyuarakan kepentingan umat Buddha kepada pemerintah serta berkontribusi dalam menyumbangkan SDM untuk masuk dalam struktural pengelolaan Candi Borobudur.

Menurut Pandu, mahasiswa dan pemuda Buddhis tidak ingin isu terkait Candi Borobudur dipolitisasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler