Kondisi di Jayapura, Papua, pada Jumat (30/8/2019) dilaporkan mulai membaik, setelah sehari sebelumnya pecah kerusuhan. Pada hari yang sama, Presiden Jokowi menginstruksikan pemulihan situasi di Papua, sesuatu yang dinilai tak akan berhasil jika Pemerintah masih memblokir akses internet dan melakukan pendekatan keamanan.
Kepada awak media di Jakarta, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan situasi di Jayapura telah kondusif.
BACA JUGA: Tak Ada Pilihan, Pengungsi Timor Leste Terpaksa Bertahan di Pengungsian
ABC juga menerima laporan bahwa sebagian besar pengunjuk rasa telah kembali ke wilayah masing-masing.
"Keadaan hari (30/8/2019) ini sejak pagi, massa demonstran yang (ada) di kantor Gubernur Papua, setelah memperhatikan kondisi, mereka sepakat untuk bubar dan kembali ke tempat masing-masing di Jayapura, Abepura, Waena dan Sentani," ujar Pendeta Matheus Adadikam dari Elsham Papua melalui pesan teks.
BACA JUGA: Punya Koleksi Ratusan, Ganda Marpaung Promosikan Busana Tradisional Indonesia Di Australia
Untuk memulihkan kembali kondisi Jayapura, Polri juga telah mengirimkan tambahan pasukan.
"Salah satunya ini penambahan perkuatan, dari Polda Kaltim, Kalbar, Kalteng, Kalsel, dan Mako Korbrimob masing-masing 250 personel dalam langkah memulihkan situasi keamanan di wilayah Jayapura dan sekitarnya," sebut Dedi
BACA JUGA: Aktivis Hong Kong Joshua Wong Ditahan Lagi Menjelang Demo Akhir Pekan
"Jumlah total saat ini, TNI-Polri Jayapura 2.500 personel, itu hanya Jayapura," tambahnya.
Pada Jumat (30/8/2019) malam, Presiden Jokowi juga telah menginstruksikan dilakukannya pemulihan terhadap kondisi Papua.
"Saya perintahkan agar situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan Papua Barat juga dijaga dan segera dipulihkan. Semua warga negara tanpa kecuali, semuanya, harus dilindungi dan dijaga harkat dan martabatnya."
Pernyataan itu disampaikan Presiden setelah mengadakan rapat terbatas di Istana Merdeka Jakarta bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa anggota Kabinet. Photo: Kondisi di Jayapura pasca aksi pembakaran. (tribunnews.com)
Para anggota Kabinet yang hadir di antaranya Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Presiden Jokowi, sekali lagi, juga menegaskan ia tak akan memberi ruang kepada pelaku anarkisme dan rasisme.
"Tidak ada toleransi pada perusuh dan pelaku tindakan-tindakan anarkistis."
"Saya juga, saya ulang lagi, memerintahkan kepada aparat keamanan untuk bertindak secara tegas kepada siapapun yang melakukan tindakan rasialis dalam bentuk apapun."
Presiden Indonesia ke-7 ini menyampaikan keyakinannya bahwa warga Papua adalah warga yang mencintai perdamaian, dan cinta kepada Indonesia. Gejala konflik horizontal
Menurut pengamat Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, upaya pemulihan yang direncanakan Pemerintah dan aparat itu tak akan berjalan baik jika Pemerintah tidak mendengar aspirasi warga Papua selama unjuk rasa berlangsung.
Salah satunya, sebut Cahyo yang tengah berada di Merauke -Papua, adalah melokalisir atau membatasi permasalahan akibat insiden di Jawa Timur.
"Misalnya rasisme, ya ditangkap (pelakunya)."
"Orang-orang Papua di Merauke itu merasa kecewa terhadap misalnya penanganan kasus yang rasistik menjadi sangat lama. Itu kan bentuk ketidakpuasan," ujarnya kepada ABC melalui sambungan telepon. Photo: Presiden Jokowi menggelar rapat terbatas (30/8/2019) untuk memulihkan kondisi di Papua. (Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Ia mengatakan semua pelaku rasisme, atau orang-orang yang terlibat di dalamnya harus ditangkap dan diadili.
Warga Papua, kata sang pengamat, juga menghendaki agar pendekatan keamanan dihentikan.
"Bagaimana menangani masalah Papua dengan mendatangkan aparat, polisi, itu juga mereka tidak suka," kata Cahyo.
Permasalahan berikutnya adalah pemblokiran internet dan beberapa akses komunikasi.
"(Langkah) itu justru menambah kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah pusat."
Peneliti bidang sosial ini menyadari bahwa di satu sisi, pemblokiran internet ini berusaha untuk menangkal hoaks tapi di sisi lain, dampaknya adalah makin menambah kekecewaan masyarakat di tingkat akar rumput.
"Dan ini yang bisa dieksploitasi," sebut Cahyo.
Ia menegaskan Pemerintah Indonesia harus jeli membaca situasi dan menghentikan cara lama karena ia mendeteksi adanya fenomena untuk menaikkan tensi di Papua dan fenomena untuk memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat di sana ke level yang lebih tinggi.
"Jadi yang kita tangkap itu gejala. Gejala untuk menaikkan ketidakpuasan menjadi sebuah ketegangan, menjadi sebuah konflik."
"Dan ini saya melihat di Jayapura, ada fenomena untuk menggeser dari konflik yang bersifat vertikal antara negara dengan orang Papua menjadi konflik yang bersifat horizontal."
Simak informasi terkini lainnya dari Indonesia dan dunia di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemerdekaan Telah Mengubah Hidup Tiga Generasi Timor Leste di Australia