Penanganan Radikalisme Bukan Hanya Soal Aturan Pakai Cadar dan Celana Cingkrang

Minggu, 24 November 2019 – 16:57 WIB
Direktur Riset SETARA Institute Halili bicara soal larangan pemakaian celana cingkrang dan cadar. Foto: Aristo Setiawan/jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Riset SETARA Institute Halili mengatakan penanganan radikalisme bukan hanya soal melarang pemakaian celana cingkrang dan cadar.

Dia menyebut pemerintah era Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu tepat sasaran menangani isu radikalisme tersebut.

BACA JUGA: Munarman FPI: Pakai Rok Mini Dibiarkan, Bercadar dan Celana Cingkrang Dilarang

Halili mengungkapkan itu di dalam diskusi bertajuk Pemajuan Toleransi di Daerah: Input untuk Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri di Ibis Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (24/11).

"Agenda pemajuan toleransi dan penanganan radikalisme yang krusial bukanlah soal pemakaian cadar atau celana cingkran," kata Halili, Minggu.

BACA JUGA: Perhatikan Sekeliling Anda, Inilah Kebiasaan Teroris Sebelum Beraksi

Menurut dia, pemerintah seharusnya mempersempit ruang bagi kelompok-kelompok yang bersifat intoleransi. Tindakan itu, diyakini Halili mampu mengurangi tindakan radikalisme.

"Bagaimana mempersempit ruang bagi berbagai ekspresi intoleransi," ucap dia.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah perlu meningkatkan regulasi dan jaminan atas kesetaraan hak seluruh kelompok masyarakat untuk mengurangi tindakan radikalisme.

Kemudian, pemerintah perlu juga meningkatkan peran aktor lokal dalam memajukan toleransi dan kerukunan.

"Pemerintah perlu membangun basis sosial-kemasyarakatan yang memiliki ketahanan (resilience) untuk membentengi diri dari penyebaran narasi dan gerakan anti-kebinekaan, anti-demokrasi, dan anti-negara Pancasila," ungkap dia.

Wacana tentang pelarangan celana cingkrang dan cadar menguat setelah muncul pernyataan dari Menteri Agama Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi.

Dalam sebuah acara, Fachrul mengaitkan celana cingkrang dengan kasus penusukan Mantan Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang, Banten, beberapa waktu lalu. (mg10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler