jpnn.com - JAKARTA - Direktur Imparsial, Al Araf mengatakan, revisi atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme jangan sampai menjadi menjadi pintu masuk untuk menarik keterlibatan TNI. Sebab, Indonesia akan mundur ke belakang jika penanganan terorisme dengan pola militer yang mengedepankan pendekatan perang.
Al Araf mengatakan hal itu ketika hadir sebagai pembicara diskusi bertema Arah Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di DPR, Selasa (28/6). Menurut dia, jika merujuk pada Statuta Roma bukan teror tergolong bukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) seperti pemusnahan etnis
BACA JUGA: Yakinlah, Ramadan Jadi Berkah bagi Indonesia
Sebab, teror sesuai kesepakatan internasional itu justru digolongkan sebagai kejahatan serius (serious crime). “Jadi tak perlu penanganan ekstra sampai melibatkan milter,” katanya.
Lebih lanjut Al Araf mengatakan, justru patut disayangkan jika pemerintah hendak menggunakan pendekatan perang sebagai pengganti criminal justice system untuk memerangi teroris. Sebab, Indonesia sudah memisahkan antara pertahanan dan keamanan.
BACA JUGA: DPR Janjikan RUU Sistem Perbukuan Selesai Tahun Ini
Ia menjelaskan, Indonesia pernah memiliki UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara. Hanya saja, UU itu sudah direvisi sehingga sektor keamanan dan pertahanan dipisahkan.
Untuk sektor pertahanan menjadi domain TNI. Sedangkan sektor keamanan menjadi kewenangan Polri.
BACA JUGA: Itet: Vaksin Palsu Merusak Masa Depan Anak Bangsa
Karenanya ia khawatir pelibatan militer akan menjadi langkah mundur. Sebab,melibatkan militer berarti menggunakan pendekatan perang dalam pemberantasan terorisme.
“Jadi aneh kalau menggeser criminal justice system ke model perang. Ini berbahaya bagi proses demokrari dan kemunduran dalam proses reformasi,” ulasnya seraya menegaskan, pemberantasan teror sebaiknya tetap ditempatkan dalam criminal justice system seperti yang berlaku saat ini.
Sedangkan anggota Pansus RUU Antiterorisme, Sarifuddin Sudding mengatakan, terorisme memang tidak bisa ditangani dengan cara-cara biasa. Namun, politikus Hanura itu tetap berpendapat bahwa pelibatan TNI tetap harus dibatasi.
“Keterlibatan TNI itu spesifik, ada batasan-batasannya dan aspek tertentu. Misalnya teror kepada kepala negara, teror di luar negeri,” tuturnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Buah Megawati Ini Titip Pesan Soal UU Tax Amnesty
Redaktur : Tim Redaksi