jpnn.com, JAKARTA - Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI) menyoroti pencabutan asimilasi dan pemindahan narapidana kasus penganiayaan remaja Habib Bahar bin Smith (HBS) dari Lapas Gunung Sindur ke Lapas Nusakambangan.
Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI, Chandra Purna Irawan dalam pendapat hukumnya, Kamis (21/5), mengutip pernyataan Ditjen Pemasyarakatan (Pas) Kemenkum HAM terkait pencabutan proses asimilasi dan kembali memenjarakan HBS.
BACA JUGA: HRS Center: Pemindahan Habib Bahar Bentuk Kezaliman Pemerintah
Pada pokoknya, pencabutan asimilasi itu lantaran HBS melakukan beberapa tindakan yang dianggap telah menimbulkan keresahan di masyarakat, yaitu menghadiri kegiatan dan memberikan ceramah yang provokatif.
"Perlu diperhatikan secara cermat, terdapat kemungkinan provokatif yang dituduhkan Pemerintah terhadap HBS apakah ‘provokasi berupa seruan untuk melakukan pembunuhan terhadap individu penguasa dan/ atau seruan untuk melakukan tindakan fisik lainnya," ucap Chandra.
BACA JUGA: Mestinya Habib Bahar Tidak Boleh Bertemu Siapa pun
Apabila betul kemungkinan ini, lanjut Chandra, maka tindakan tersebut adalah tindak pidana materil yaitu dapat dilakukan penangkapan apabila terdapat bukti tindakan permulaan konkret yaitu berupa persiapan melakukan tindakan fisik.
"Tetapi saya percaya pribadi HBS kemungkinan melakukan hal tersebut sangat kecil," tukas Sekjen LBH Pelita Umat ini.
Berikutnya, kata Chandra, terdapat kemungkinan provokatif’ yang dimaksud adalah kritik HBS terhadap kebijakan dan tindakan rezim. Apabila betul kemungkinan ini, maka kritik atau menyampaikan pendapat adalah hak konstitusi yang dimiliki setiap warga negara.
"Siapa pun tidak boleh mengambil hak tersebut termasuk Pemerintah dan negara kecuali atas putusan pengadilan setelah melalui proses pemeriksaan yang adil," jelas Chandra.
Kemudian, Chandra mempertanyakan apakah terdapat syarat atau regulasi terkait pencabutan asimilasi, misalnya larangan melakukan kritik terhadap Pemeritah. Apabila terdapat larangan tersebut, maka tindakan pemeirntah dapat dinilai pelanggaran hukum karena menyampaikan pendapat adalah hak konstitusi.
Poin selanjutnya, Pasal 136 ayat 2 huruf e Permenkumham Nomor 3 tahun 2018 yang dijadikan alasan ‘menimbulkan keresahan dalam masyarakat’. Maka perlu diperhatikan secara objektif bukan secara subjektif.
Misalnya secara objektif, menimbulkan keresahan dalam masyarakat, apakah sudah terjadi tindakan berupa benturan fisik antarmasyarakat atau tindakan fisik permulan konkret yang dilakukan masyarakat untuk melawan Pemerintah atau bukti permulaan konkret akan melakukan bentrokan.
"Apabila keresahan masih pada tataran perasaan/ jiwa/ rasa benci/ emosi, maka hukum tidak dapat menjangkau area perasaan ini. Apabila pada tataran perasaan, saya patut menduga terdapat banyak masyarakat yang juga benci/emosi terhadap pemerintah, misalnya karena kenaikan iuran BPJS, beban hidup yang tinggi dan lainnya," tandas Chandra. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam