Pendapat Indriyanto Seno Adji soal Polemik Revisi UU KPK

Minggu, 08 September 2019 – 00:56 WIB
Indriyanto Seno Adji. Foto: dokumen JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji menilai revisi UU KPK (Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) perlu dilihat dari sisi keadilan restoratif.

"Polemik revisi UU KPK hanyalah soal metode pendekatan saja. Revisi harus dipahami dari sisi restorative justice (keadilan restoratif) ataukah deterrent effect (efek jera)," kata Indriyanto, di Jakarta, Sabtu (7/9).

BACA JUGA: Ada Pihak Ketakutan dengan Independensi KPK

Ia memahami bahwa pelaksanaan UU KPK setelah 17 tahun berjalan memerlukan evaluasi dengan basis penguatan filosofi arah dan tujuan UU ini, yaitu rehabilitasi dengan basis pencegahan.

Menurut Indriyanto, inisiatif DPR atas revisi UU KPK ini memiliki pendekatan filosofi keadilan restoratif yang menghendaki adanya suatu rehabilitasi sistem pemidanaan dan tidak semata-mata pendekatan efek jera kepada para pelaku.

BACA JUGA: Analisis Sulthan soal UU KPK Bakal Ketinggalan

"Dari perjalanan kasus-kasus korupsi, pola dan cara penindakan dengan pendekatan efek jera tidak memberikan manfaaat pengembalian optimal keuangan negara, karena itu filosofi pencegahan dengan rehabilitasinya menjadi basis yang utama," katanya.

BACA JUGA: Semoga Pemerintahan Presiden Jokowi Tak Membunuh KPK

BACA JUGA: Bambang Harapkan Presiden Jokowi Segera Utus Menteri Bahas Revisi UU KPK

Terlepas setuju atau tidak, lanjut dia, enam poin evaluasi UU KPK merupakan gabungan atas evaluasi pola pencegahan dan penindakan (mixed methods). Artinya, enam poin evaluasi itu merupakan sesuatu yang wajar dan baik bagi KPK dan pemberantasan korupsi ke depan.

"Salah satu evaluasi pasal, misalnya tentang Dewan Pengawas. Ini adalah sesuatu yang wajar, karena pada negara demokratis, bentuk auxiliary state body seperti KPK, yang super body, disyaratkan adanya badan pengawas yang independen. Lembaga penegakan hukum lain sudah memilikinya, misalnya Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), Polri dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Kejaksaan dengan Komisi Kejaksaan (Komjak)," kata Indriyanto.

Perkara penghentian penyidikan pun dinilai bertujuan untuk memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan. Hal ini bisa diterapkan dalam kondisi limitatif dan eksepsional kepada tersangka yang sakit berat.

"Secara medis dinyatakan unfit to stand trial secara permanen (tidak layak diajukan ke pengadilan), maka orang tersebut harus dihentikan penyidikannya," jelasnya.

Menurut Indriyanto, keberatan yang muncul dari masyarakat sipil. aktivis antikorupsi, dan beberapa pengamat, karena ada persepsi dan pola pendekatan yang berbeda. Mereka masih fokus pada pendektan efek jera semata.

"Mixed methods (pendekatan gabungan) oleh DPR ini tanpa menghilangkan pola penindakan KPK dan diapresiasi sebagai usulan inisiatif DPR yang wajar dan prospektif ke depan. Sehingga, ini tidak perlu dicurigai dan tak perlu ada kekhawatiran. Ada mekanisme hukum untuk mencurahkan ketidaksetujuan itu melalui otoritas yudikatif dan tidak perlu mengambil jalan prosesual eksekutif yang tidak menjadi otoritas atas inisiatif revisi UU ini," kata Indriyanto. (Syaiful Hakim/Ant/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Revisi UU KPK Diinisiasi Enam Anggota DPR, Siapa Mereka?


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler