Penderitaan Anak-Anak Kurdi Dibombardir Pasukan Erdogan

Sabtu, 03 Februari 2018 – 13:21 WIB
Seorang anak Kurdi di Afrin, Syria, terluka parah akibat bombardir pasukan Turki. Foto: CNN

jpnn.com, AFRIN - Mohammed Khaled hanya manut saat digandeng orang tuanya meninggalkan rumah mereka di kawasan Ashrafia, Distrik Afrin, Democratic Federation of Northern Syria (DFNS) alias Wilayah Otonomi Rojava.

Ngambek atau menangis tidak ada gunanya. Suaranya tidak akan mampu bersaing dengan riuhnya tembakan roket dan desing peluru yang mewarnai Afrin sejak 20 Januari lalu.

BACA JUGA: Panas! Trump Minta Erdogan Berhenti Menyebar Kebohongan

Dalam diam, bocah 10 tahun itu terus melangkah. Kadang berlari. Dia baru berhenti di sebuah gubuk di pinggir ladang luas. Ada bangunan tua yang dulunya pabrik di sana.

’’Sudah lima hari berturut-turut kampung kami diserang dari udara. Pesawat-pesawat tersebut menjatuhkan bom dan roket. Kami tidak tahu harus lari ke mana,’’ kata Khaled dalam bahasa Kurdi.

BACA JUGA: Kisah Ahyam Azad: Dari Budak Jadi Pecinta Keluarga ISIS

Kepada CNN, ayah Khaled menyatakan bahwa selama lima hari terakhir dirinya terpaksa mengurung anak-anaknya di dalam rumah. Tapi, setelah rumah-rumah di kanan dan kirinya rata dengan tanah karena serangan udara militer Turki, nyalinya ciut.

Dia lantas mengajak seluruh keluarganya mengungsi. Ladang di belakang bangunan bekas pabrik itu menjadi satu-satunya lokasi aman yang terjangkau. Maka, ke sanalah mereka pergi.

BACA JUGA: AS dan Iran Kompak Mengecam Operasi Militer Turki di Syria

Khaled lebih beruntung daripada bocah-bocah Afrin yang lain. Yasmin, misalnya. Bersama ibu dan saudara-saudaranya, dia terpaksa berlindung di gua. Ada banyak keluarga lain yang juga bersembunyi di sana.

’’Gelap sekali di dalam sini. Tapi, kami tidak berani keluar dari sini. Bising sekali di luar sana,’’ ujar Yasmin. ’’Mereka menyerang kami dari udara. Kami hanya anak-anak. Salah kami apa?’’ lanjutnya.

Fatima Muhammed hanya mengangkat bahunya saat mendengar perkataan Yasmin tersebut. Sebagaimana Yasmin, dia pun tidak habis pikir mengapa mereka harus menderita.

’’Negara macam apa yang menyerang warga sipil sekeji ini? Kami tidak bisa pulang. Rumah-rumah kami rata dengan tanah. Hanya gua dan jalanan yang jadi tempat berlindung kami,’’ katanya.

Tinggal di gua tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Fatima dan Yasmin. Tapi, mau tak mau, mereka harus cepat beradaptasi. Tidur di atas tanah dingin beralas kain atau karpet, juga melupakan terangnya cahaya lampu.

Kini mereka harus puas dengan penerangan lilin. Deru mesin jet tempur dan suara ledakan menggantikan suara radio dan televisi yang biasanya menjadi hiburan di rumah.

’’Apa yang telah kami lakukan kepada mereka? Kami kehilangan rumah. Tidak ada yang tersisa. Kami ini juga manusia, apakah mereka lupa itu?’’ kata Um Muhammed, ibu Khaled, sebagaimana dilansir CNN, Jumat (2/2).

Dalam bahasa Arab, dia menyesalkan tindakan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang menyerukan aksi militer ke Afrin. ’’Ini pembantaian,’’ ucapnya, lantas terisak.

Dia berharap masyarakat internasional tergerak untuk membantu mereka. Terutama menghukum Erdogan yang mengubah Afrin jadi palagan.

Tidak ada kehidupan lagi di distrik yang mayoritas penduduknya adalah kaum Kurdi tersebut. Permukiman warga musnah. Mereka yang sehat kabur.

Yang tinggal hanyalah mayat dan pasien di rumah sakit. Hanya dalam waktu dua pekan, aksi militer Turki di Afrin mengakibatkan sedikitnya 16.000 warga sipil telantar.

’’Sebenarnya pemerintah setempat melarang warga meninggalkan rumah agar bantuan kemanusiaan bisa dibagikan. Tapi, serangan udara bertubi-tubi membuat mereka terlalu takut untuk bertahan,’’ kata seorang staf United Nations Children's Fund (UNICEF).

Operasi Ranting Zaitun (Operation Olive Branch) dilancarkan Turki untuk membuyarkan kerja sama Amerika Serikat (AS) dan Yekineyen Parastina Gel (YPG) alias Unit Perlindungan Rakyat.

Oleh AS, YPG yang merupakan bagian dari Partai Pekerja Kurdi (PKK) itu dipersiapkan menjadi penjaga perbatasan. Tapi, Turki menentang keras rencana tersebut karena khawatir YPG menginvasi wilayahnya.

’’Serangan militer Turki memang membabi buta. Tapi, kami punya pasukan yang sangat tangguh. Mereka tidak akan pernah menyerah sampai Afrin kembali damai,’’ tegas Hevi Mustafa, salah seorang anggota dewan eksekutif Afrin.

Tak hanya mengerahkan banyak personel darat ke Afrin, Turki juga menggunakan senjata canggih dalam penyerangan. Sementara itu, senjata termodern YPG adalah roket Katyusha buatan Rusia. (hep/c22/pri)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Operasi Ranting Zaitun, Awal Perang AS Vs Turki?


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler