Pendidikan Harus jadi Agenda Utama Bangsa

Kamis, 25 Juni 2009 – 20:33 WIB
JAKARTA - Pembaruan pendidikan akan berjalan kurang efektif dan efisien, jika pemerintahan mendatang tidak berkomitmen menjadikan pendidikan sebagai agenda utama untuk memajukan bangsaHal tersebut antara lain disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panitia Khusus (Pansus) Pendidikan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di lantai 2 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/6), yang dipimpin ketuanya Sudharto.

Dijelaskan Sulistiyo, kronisnya masalah pendidikan bermula dari ketidakpedulian dan ketidaktahuan penyelenggara negara tentang peran pendidikan yang memajukan

BACA JUGA: 2010, Tunjangan Profesi Guru Rp9 Triliun

Karena digampangkan sebatas bersekolah atau memberantas buta huruf, maka pendidikan terancam berbagai masalah kronis
"Padahal, efek akumulatif kesuksesan bidang pendidikan adalah marwah atau harga diri bangsa," tuturnya.

Sulistiyo juga membeberkan beberapa hal penting terkait dunia pendidikan

BACA JUGA: DPD Desak Mendiknas Evaluasi UN

Terutama pada ranah fundamental dan filosofi pendidikan, yang belum menjawab tujuan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945, yang memerintahkan kecerdasan mestinya meluas.

"Perluasan kecerdasan itu meliputi kecerdasan inteligensia (intelligence quotient/IQ), emosional (emotional quotient/EQ), serta spiritual (spiritual quotient/SQ), yang dikenal sebagai kecerdasan majemuk (multiple intelligence/ MI)
Semuanya mempertegas pengertian bahwa kecerdasan melampaui kepintaran," tegasnya.

Kekaburan paradigma itu, menurut Sulistiyo, menyebabkan ketidaktepatan sasaran (mismatch) penyelenggaraan pendidikan, terhadap kebutuhan dan persoalan masyarakat

BACA JUGA: Segera Cair BOS Buku Rp3 Triliun

"Gejala umumnya, lulusan satuan pendidikan tidak memiliki kesesuaian kualifikasi dan kesiapan mental spiritual, misalnya nalar dan etos, keterampilan, entrepreneurship, dan leadership," imbuhnya.

"Ironisnya, alumni fakultas/jurusan pertanian tidak tertarik bekerja di bidang pertanian, sehingga sektor pertanian merana di negeri agraris ini, dan kita justru mengimpor komoditi pertanian," tegasnya memberi contoh.

Lalu pada ranah struktural, Sulistiyo menilai bahwa kebijakan pendidikan berorientasi kekuasaan atau tidak, mengacu prinsip-prinsip ilmiah keilmuan dan pengetahuan serta kearifan"Penyelenggaraan pendidikan seringkali didasarkan 'trial and error', ‘hit and run’, dan ‘kick and rush’, sehingga menghasilkan berbagai anomali," kata Sulistiyo.

Kebijakan yang anomali itu sendiri, menurut Sulistiyo, antara lain seperti world class university, research university, badan nasional standar pendidikan, sekolah bertaraf internasional, kurikulum tingkat satuan pendidikan, olimpiade sains, serta ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasionalYang memprihatinkan, anomali itu mengejawantahkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), yang menjadi rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Demikian pula halnya dengan birokrasi yang dikelola oleh orang yang tidak memiliki kompentensi, track record, serta pemihakan untuk mengeluarkan kebijakan pendidikan yang lebih berorientasi kekuasaan dan kepentingan lain yang bersemangat korupsi"Sampai-sampai pengangkatan kepala dinas pendidikan (saja), sangat kental nuansa politik uang," tegasnya pula.

"Di beberapa provinsi, kepala-kepala dinas pendidikan tidak meniti karir di bidang pendidikanYang kami anggap tidak memiliki kompetensi di bidang pendidikan, bisa lebih 50 persen," ujar Sulistiyo lagi"Sayangnya, pengimplementasian berbagai kebijakan pendidikan seringkali terkendala di meja birokrat, tambahnya.

Ketiga, pada ranah operasional, birokratisasi praktek pendidikan, juga dipadang mengacaukan kurikulum dan metodologi pembelajaran, serta mengabaikan kinerja guru-guruMenurutnya, kurikulum, metodologi dan kinerja yang tidak tersentuh pembaruan itu, menyebabkan praktek pendidikan yang membosankan di kelas-kelas sekolah.

Keempat, pada ranah kultural, masyarakat kita belum menjadi masyarakat pembelajar (learning society)Bersekolah adalah sebatas formalitas untuk mendapatkan gelar dan sertifikat sebagai status, sekaligus syarat memperoleh pekerjaan"Masyarakat kita sekarang terserang 'diploma diseases'," ungkapnya.

Sulistiyo juga menyinggung 20 persen alokasi dana pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang termasuk gaji guru dan pendidikan kedinasanJika pemerintah pusat (sudah) mengalokasikannya 20 persen dalam APBN, namun pemerintah daerah (kebanyakan) mengalokasikannya tidak lebih dari 10 persen dalam APBD.

"Artinya, persentase yang sebagian adalah gaji guru, ditransfer dari APBN di pusat ke APBD di daerah-daerah, melalui dana alokasi umum (DAU) kabupaten/kotaDAU tersebut dihitungkan kembali sebagai pembagi untuk persentase kabupaten/kotaArtinya, satu mata anggaran belanja dihitung dua kali," ujarnya(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dana Penyesuaian 2010 untuk Gaji Guru


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler