Pendidikan Vokasi-Industri Harus Terus Diperkuat

Sabtu, 17 Juli 2021 – 12:44 WIB
Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto saat diskusi daring. Foto tangkapan layar/mesya

jpnn.com, JAKARTA - Sinergi antara pendidikan vokasi dan industri amat penting dalam peningkatan kapasitas serta kualitas SDM yang dihasilkan.

Saat ini, koneksi antara keduanya belum begitu optimal. Salah satu upaya yang harus ditempuh adalah penguatan konsep link and match kepada pelaku industri.

BACA JUGA: Pendidikan Vokasi Punya Andil Dongkrak UMKM

Pernyataan tersebut diungkapkan Dirjen Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Wikan Sakarinto dalam sebuah Webinar Series bertajuk Sinergi Ekosistem Riset Terapan sebagai Jembatan Vokasi dan Industri, Jumat (16/7).

Dia menjelaskan bahwa konsep link and match ini terdiri dari delapan standar. Pertama, kurikulum disusun bersama.

BACA JUGA: Mayat Perempuan Bertato dalam Boks Plastik Itu Adalah...

Wikan mengaku, kurikulum akan di-refom agar lebih berat pada pembentukan karakter dan soft skill daripada hardskill.

“Hardskill dan produktif iya, tetapi kita dikeluhkan karena lulusan kita kurang komunikasi, kurang mampu menghadapi tekanan dunia kerja, kita akan fokuskan kalau kita menyusun kurikulum bersama dengan industri itu soft skill karakternya kuat, hardskill akan otomatis kuat,” kata dia melalui keterangan resminya di Jakarta, Sabtu (17/7).

BACA JUGA: Mengerikan, 2 Pria Duel Pakai Senjata Tajam Tengah Malam

Selanjutnya pembelajaran berbasis project riil dari dunia kerja (PBL). Tujuannya adalah untuk memastikan hard skill akan disertai soft skill dan karakter yang kuat.

Ketiga, jumlah dan peran guru, dosen, instruktur dari industri dan ahli dari dunia kerja, ditingkatkan secara signifikan sampai minimal mencapai 50 jam per semester, per program studi.

"Jadi, dosen-dosen dari Kadin harus rutin kita hadirkan di kelas. Sejak semester satu, anak-anak kita sudah diekspos dengan kondisi nyata," tambah Wikan.

Poin keempat merupakan optimalisasi magang atau praktik kerja di industri atau dunia kerja. Menurutnya minimal dirancang 1 semester sejak awal.

“Jangan sampai langsung lompat ke nomor empat, sedangkan poin dua dan tiga belum kita lakukan,” tutur Wikan.

Adapun yang kelima adalah sertifikasi kompetensi, yang sesuai standar dan kebutuhan dunia kerja (bagi lulusan dan dosen, guru/instruktur). Kemudian dosen/guru/instruktur secara rutin mendapatkan update teknologi dan pelatihan dari dunia kerja.

“Aspek ketujuh cukup krusial yakni riset terapan mendukung Teaching Factory atau Teaching Industry,” terang Wikan.

Dijelaskan Wikan, ketika bicara riset terapan, tidak bisa langsung lompat ke riset terapan. Ini bagian dari link and match. Riset terapan yang tepat itu Teaching Factory/Teaching Industry harus bermula dari kasus nyata di Industri atau masyarakat.

“Sehingga kebijakan kita untuk riset terapan itu ya ini, start from the end,” ungkapnya.

Dia menyebutkan riset itu dimulai dari MRL (MArket Readiness Level) bersama industri atau bersama Kadin, kemudian merancang kalau kelak produk mereka nanti sudah selesai, bagaimana memproduksi massal dan mendeliver ke pasar atau ke masyarakat.

“Harus ada VRL (Venture Readiness Level). Jadi kita harus punya kesiapan mitra industri yang nanti memproduksi masal. Karena kalau kampus atau SMK diminta untuk memproduksi masal itu ya salah,” katanya.

Kampus vokasi atau SMK adalah pabrik ide atau pabrik prototype dan dilahirkan bersama dengan industri. Baru setelah itu TRL (Teknikal Readiness Level). Ini dipublikasikan setelah produk sudah jadi.

“Di HAKI, paten, atau produk register itu boleh dipublikasikan. Tapi jangan sampai mindset kita untuk melakukan link and match tadi hanya administratif,” katanya.

Terakhir, komitmen serapan lulusan, oleh dunia kerja atau bukan mengharuskan, tetapi komitmen kuat.

“Jadi ada link and match antara vokasi dan industri. Minimal delapan standar ini harus dilakukan kalau kita benar-benar ingin punya kualitas,” kata Wikan.

Dosen Institut Pertanian Bogor Nunung dalam paparannya mengatakan setidaknya harus ada bobot yang sama antara dosen-dosen yang melakukan publikasi, dosen aktif dalam masyarakat, termasuk ketika dosen menggerakan dan dosen yang menghasilkan output atau produk.

“Ini juga menjadi bagian dari penilaian yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan artikel tadi. Termasuk ketika dia menghasilkan output atau produk. Kita tetap harus melakukan riset. Riset seperti apa yang diinginkan apakah basic research atau applied research,” kata dia.

“Nah kalau applied research, apa yang harus ditindaklanjuti agar itu betul-betul bisa digunakan oleh dunia industri,” lanjutnya.

Dia menambahkan, dalam melakukan penelitian, ada dosen dengan karakter basic research dan ada juga yang applied research.

Tetapi menurutnya yang lebih penting adalah bagaimana memasukkan applied research di dalam satu puzzle ekosistem riset nasional di Indonesia. (rhs/jpnn)


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler