Penegakkan Hukum Harus Atas Prinsip Supremasi Hukum

Senin, 01 Februari 2010 – 16:46 WIB
JAKARTA- Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Profesor Muladi menegaskan politik penegakkan hukum sebagai suatu pilihan harus didasarkan atas prinsip supremasi hukumSupremasi hukum sendiri merupakan salah satu nilai dasar demokrasi bersama-sama dengan nilai-nilai dasar demokrasi lainnya.

"Nilai-nilai dasar demokrasi itu antara lain pemilihan umum yang luber dan jurdil, prinsip good governance, kebebasan pers, desentralisasi kewenangan, hukum yang demokratis, kekuasaan kehakiman yang merdeka, ruang berkembang masyarakat madani, promosi dan perlindungan HAM serta kontrol sipil terhadap militer," kata Muladi, dalam Seminar Hukum bertema "Membangun Politik Penegakkan Hukum yang Mengakomodasi Keadilan Warga Tak Mampu", diselenggarakan DPD, di gedung Nusantara V komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (1/2).

Hakekat supremasi hukum, lanjutnya, merupakan prasyarat suatu bangsa untuk hidup bermartabat yang secara umum mengandung elemen-elemen seperti negara harus tunduk pada hukum, jalan masuk untuk memperoleh keadilan harus terbuka luas terutama yang menjadi korban mal-administrasi dan hukum itu sendiri harus ditegakkan secara adil tanpa diskriminasi dan menjamin kepastian hukum sehingga hukum mengandung misi menciptakan peradaban, memelihara peradaban dan membangun peradaban.

"Dalam perspektif instrumen apakah itu instrumen hukum HAM internasional maupun dalam hukum nasional termasuk UUDRI 1945, Indonesia mengenal suatu prinsip yang sangat fundamental yaitu prinsip persamaan di muka hukum," tegasnya.

Yang menjadi masalah, telah terjadinya penyalahgunaan wewenang penegak hukum yang karena alasan tertentu telah merugikan pencari keadilan seperti tindak kriminalisasi yang berlebihan, langkah-langkah penegak hukum yang melanggar hak-hak yang berpekara di pengadilan secara tidak proporsional dan profesional serta mal-praktek hukum, kata Muladi.

"Hal lain yang akhir-akhir ini sering terjadi dalam konteks penyalahgunaan wewenang adalah politisasi hukum, kekuasaan kehakiman yang tidak terkendali akibat kebijakan di lapangan yang dimiliki oleh mereka yang memiliki monopoli kewenangan tanpa disertai akuntabilitas," tegasnya.

Hal lain yang juga masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang adalah tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, suap baik kepada saksi maupun penegak hukum untuk memanipulasi hasil proses peradilan serta positivisasi hukum yang lebih mengutamakan keadilan prosedural ketimbang keadilan substansif, imbuhnya.

"Bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang tersebut dilakukan oleh aparatur negara, makelar kasus, dan mafia peradilan tidak hanya berbahaya terhadap kemanan eksistensi negara hukum, tetapi juga berbahaya terhadap Human Security baik itu pribadi, kelompok maupun masyarakat luas bahkan berpotensi untuk menimbulkan bahaya terpadu (hybrid security threat)," ungkap Muladi.

Kelompok yang rentan terhadap penyalahgunaan wewenang tersebut tidak sekedar berkaitan dengan kemampuan finansial, tetapi terkait juga di dalamnya perhatian dan perlakuan terhadap apa yang dinamakan "vulnerable group" seperti anak-anak, orang cacat, kelompok manula, minoritas, wanita dan suku terasing yang pada dasarnya tidak mampu secara fisik, mental atau sosial," imbuhnya

BACA JUGA: Dakwaan Jaksa KPK Dianggap Ketinggalan Jaman

(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Robert Tantular Adukan Polisi-Jaksa ke Komnas HAM


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler