Peneliti AEPI Nilai Cara Mengukur Angka Kemiskinan Salah

Selasa, 17 April 2018 – 19:48 WIB
Salamuddin Daeng. Foto: Salamuddin Daeng

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng meminta Badan Pusat Statistik (BPS) mengganti cara mengukur kemiskinan di Indonesia.

”BPS harus mengganti ukuran kemiskinannya karena kesalahan fatal yang sudah menjadi sistem pemerintah ini cenderung mengarah kepada tragedi kemanusiaan,” kata Daeng, Selasa (17/4).

BACA JUGA: Jokowi Targetkan Angka Kemiskinan di Bawah 10 Persen

Menurut Daeng, kesalahan pertama adalah penggunaan pendekatan pengeluaran.

Daeng menjelaskan, pendekatan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya karena bersifat makro.

BACA JUGA: Kemiskinan Paksa Warga Rusia Jadi Serdadu Bayaran di Syria

”Sementara kemiskinan terjadi pada level mikro, rumah tangga, dan perorangan,” ujar Daeng.

Kesalahan kedua, sambung Daeng, adalah ukuran kemiskinan BPS yang menyatakan bahwa semakin besar pengeluaran maka seseorang kian kaya.

BACA JUGA: Elite dan Masyarakat Harus Dididik demi Kurangi Potensi SARA

“Hal itu berarti semakin banyak ekonomi menguras uang masyarakat, maka akan terlihat masyarakat semakin kaya,” kata Daeng.

Faktor lainnya adalah ukuran pengeluaran masyarakat semakin bertambah jika ada wabah dan penyakit.  

Kesalahan keempat, sambung Daeng, kemiskinan akan tampak berkurang jika pemerintah terus menaikkan harga kebutuhan publik seperti transportasi, listrik, dan BBM.

”Padahal, rakyat justru semakin menderita karena terpaksa membayar lebih mahal,” ujar Daeng.

Kesalahan berikutnya adalah pendekatan BPS terkait besarnya pengeluaran yang sama sekali tidak memperhitungkan sumber dana masyarakat.

”Jadi, semakin banyak harta benda rakyat yang hilang untuk membiayai kebutuhan hidup, maka kemiskinan berkurang. Ini pendekatan yang manipulatif,” kata Daeng. Dia menambahkan, kesalahan berikutnya adalah semakin banyak beban utang masyarakat dalam membiayai kebutuhan sehari-hari tidak bisa diartikulasi oleh cara BPS dalam menghitung kemiskinan.

Menurut dia, hal itu sama artinya dengan semakin banyak utang, masyarakat tidak akan miskin.

”Pengertian ini yang menjerumuskan masyarakat dalam jebakan utang kartu kredit atau rentenir,” imbuh Daeng.

Kesalahan terakhir, ujar Daeng, adalah adanya ukuran BPS yang menyatakan semakin tinggi pajak dan pungutan lain oleh pemerintah yang bersifat memaksa, maka pengeluaran masyarakat pasti bertambah.

”Artinya, kemiskinan akan berkurang kalau pemerintah semakin jelas dalam menjalankan strategi kolonial dengan cara memeras pajak,” tegas Daeng. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 2018, Anggaran Penanggulangan Kemiskinan Meningkat


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler