Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama yang menerima vaksin COVID-19 di Indonesia, bersama dengan sejumlah perwakilan dari kalangan pejabat publik, tenaga kesehatan, tokoh agama dan tokoh publik lainnya.

CoronaVac, vaksin buatan Sinovac resmi digunakan setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan persetujuan penggunaan darurat vaksin, Senin kemarin (11/01).

BACA JUGA: Indonesia Mengharapkan Perdagangan yang Lebih Setara dengan China

Berdasarkan hasil uji klinis di Indonesia, vaksin yang dikembangkan di China ini mencatat tingkat efikasi 65,3 persen.

Dalam keterangannya, BPOM juga menyampaikan potensi efek samping dari vaksin, seperti sakit kepala, gangguan pada kulit, nyeri otot, dan demam, namun dianggap "bukan berbahaya" dan "dapat pulih kembali".

BACA JUGA: Vaksinasi COVID-19 di Indonesia Dimulai, Nakes Takut Protokol Kesehatan Mengendur

Sebelumnya, Jumat pekan lalu (08/01) Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan vaksin virus corona buatan Sinovac tersebut halal untuk digunakan. Potensi masalah vaksinasi COVID-19 di Indonesia

Peneliti Biomolekuler dari Australian National University (ANU) dan Direktur Utama Lipotek Australia, Dr Ines Atmosukarto kepada ABC Indonesia mengatakan target Presiden Jokowi yang meminta agar vaksin bisa selesai kurang dari setahun tidak bisa dipaksakan.

BACA JUGA: Masyarakat Menunggu Vaksinasi Covid-19, Jangan Sampai Dibuat Kecewa

Photo: Sejumlah petugas memberikan pelayanan kepada warga di Rumah Sakit Darurat (RSD) Covid-19, Kemayoran, Jakarta. (Foto: Kogabwilhan I)

 

Sebelumnya Kementerian Kesehatan mengatakan vaksinasi membutuhkan waktu 15 bulan.

"Presiden atau siapapun mau ngomong apapun, mau marah-marah gimanapun, kalau logistiknya enggak ada, kalau barangnya saja enggak ada, gimana caranya kita mau lebih cepat?"

Ines memberikan contoh negara Inggris dan Amerika Serikat yang dinilainya memiliki infrastruktur kesehatan yang lebih canggih dari Indonesia, namun belum bisa menyerap target vaksinasi 20 juta orang pada akhir tahun 2020.

Target vaksinasi di Indonesia adalah 70 persen dari total populasi atau sekitar 190 juta orang, artinya Indonesia harus mengamankan setidaknya 380 juta dosis vaksin COVID-19.

Menurutnya perlu ada upaya untuk memperbanyak tempat vaksinasi, seperti di Australia yang rencananya akan bisa dilakukan oleh apoteker.

"Karena kalau tempat vaksinasinya terbatas, tempat-tempat itu akan menjadi titik kerumunan dan di sana bisa terjadi penularan."

Potensi masalah yang lain menurut Ines adalah terkait empat jenis vaksin yang akan digunakan di Indonesia.

"Harus dipastikan orang yang mendapatkan vaksin A untuk dosis pertama, akan mendapatkan vaksin yang sama untuk dosis yang kedua."

Itu artinya, tempat vaksinasi X, misalnya, harus memiliki jumlah dosis yang cukup untuk individu yang terdaftar untuk divaksinasi sesuai dengan jenis vaksinnya. Photo: Dr Ines Atmosukarto melihat potensi masalah pada empat jenis vaksin yang akan digunakan di Indonesia. (Supplied.)

 

Ines juga mengingatkan kondisi pandemi di Indonesia yang juga bisa memperlambat proses vaksinasi, terlebih karena melakukan vaksinasi adalah tenaga kesehatan yang saat ini sedang sibuk dengan perawatan kasus.

"Jadi jangan lupa, yang akan melakukan vaksinasi itu adalah orang-orang yang saat ini sudah di bawah tekanan. Bagaimana caranya mau dipercepat kalau mereka masih menangani kasus?" Pembatasan yang 'penuh negosiasi' dan salah kaprah angka kesembuhan

Untuk menangani situasi di Indonesia, Pemerintah telah menetapkan aturan pembatasan terbaru yang mulai berlaku pada Senin (11/01) lalu.

Dokter Rakhmad Hidayat, dokter ahli syaraf dari RS universitas Indonesia menilai, pembatasan hanya bisa efektif dan berguna jika dilakukan sepenuhnya.

"Jadi kalau ada jam malam atau jam pagi, semuanya ikut, semuanya kerja dari rumah, dan yang boleh buka hanya toko kelontong, Gojek, Gosend, dan nakes yang kerja [di luar rumah]."

Menurut dr Rakhmad, jika pembatasan aktivitas bisa dilakukan sepenuhnya selama 14 hari saja, angka kasus dapat turun sebanyak 25 hingga 30 persen.

Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health di Griffith University di Australia, dr Dicky Budiman menilai aturan pembatasan yang berlaku saat ini juga tidak tegas.

"Dalam situasi seperti saat ini saya masih melihat ada negosiasi atau tawar-menawar."

"Kritik saya, di Indonesia sering terjadi [negosiasi] ini yang berbahaya sekali dan terlihat pada setiap leval sampai level nasional, tercermin dalam pendekatan pembatasan yang setengah-setengah ini," ujar dr Dicky.

Misalnya saja Kementerian Perhubungan mengizinkan tingkat keterisian penumpang pesawat sampai 100 persen atau penuh mulai 9 Januari hingga 25 Januari 202, bersamaan dengan pembatasan kegiatan masyarakat di Pulau Jawa dan Bali. Photo: Sejumlah petugas memberikan pelayanan kepada warga di Rumah Sakit Darurat (RSD) Covid-19, Kemayoran, Jakarta. (Foto: Kogabwilhan I)

 

Dr Dicky juga meminta pemerintah untuk tidak menggunakan angka kesembuhan sebagai acuan karena dinilai salah kaprah.

"Enggak ada yang berani membuat definisi ini. Jadi katakanlah Indonesia mengatakan kasus pulih ada sekian, harus didefinisikan, rujukannya apa? Pulang dari rumah sakit? Keluar dari ruang isolasi? Dua kali PCR negatif? Mungkin itu definisi yang dipakai pemerintah. Tapi recovery sebenarnya punya definisi epidemiologis, sosial, dan klinis."

Secara epidemiologi, seseorang dianggap sudah sembuh jika sudah tidak menularkan, sementara secara klinis artinya tidak ada organ tubuh yang fungsinya terganggu dalam jangka pendek, menengah dan panjang.

Pulih secara sosial berarti seseorang tidak terganggu kehidupan sosialnya atau aktivitasnya.

"Karena ada yang dinyatakan pulih, tapi enggak boleh kerja dulu atau melakukan aktivitas seperti biasanya. Jadi recovery sosialnya enggak terpenuhi karena masih ada stigma," tutur dr Dicky.

Ia mencatat, dari sisi epidemiologi masih ditemukan kasus tertular kembali, sementara di sisi klinis, selain dampak jangka panjang belum diketahui, 50 persen orang yang tidak bergejala mengalami gangguan di organ parunya saat diperiksa melalui CT Scan. Jalan menuju kekebalan massal masih panjang

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan, tujuan utama vaksinasi di masa pandemi yakni untuk menciptakan kekebalan komunitas atau herd immunity.

Menanggapi hal tersebut, dr Dicky mengingatkan tidak semua vaksin menjamin dampak terhadap 'herd immunity' atau kekebalan massal.

Menurutnya untuk mencapai 'herd immunity', diperlukan 'data efficacy infectioness to other' atau efikasi pencegahan penularan, bukan hanya data efikasi proteksi, seperti data yang dikeluarkan oleh beberapa hasil uji klinis selama ini.

"Dan ini untuk diketahui kita bersama, [efficacy infectioness to other] ini belum ada datanya. Akan perlu waktu. Jangankan Sinovac, Pfizer, Moderna, Oxford pun belum ada datanya."

Ia menjelaskan, umumnya perlu beberapa bulan, bahkan tahun, untuk melihat berapa persen 'vaccine efficacy' yang mencegah transmisi ini.

"Ini sebabnya mengapa kita belum bisa mengandalkan herd immunity, seperti kata Pak Presiden [bahwa] setahun selesai."

"Vaksinasinya mungkin bisa selesai [tapi] herd immunity adalah tingkatan yang lain dari vaksinasi." Photo: Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama di Indonesia yang menerima suntikan vaksin buatan Sinovac. (Twitter: @jokowi)

  Vaksin bukan solusi pandemi, 5M harus terus dijalankan

Sebagai bagian dari kelompok prioritas penerima vaksin, beberapa tenaga kesehatan yang berbicara dengan ABC Indonesia mengaku siap dan tidak mengkhawatirkan keamanan vaksin Sinovac.

"Bagi saya pribadi, efikasi vaksin menjadi tidak begitu penting banget. Saya takutnya setelah vaksin ini, protokol kesehatannya menjadi kendur," tutur dr Andika.

Dr Dicky Budiman mengatakan keberhasilan program vaksinasi dalam situasi wabah sangat bergantung pada efektifitas program tes, telusur, isolasi, dan karantina yang ditunjang strategi 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, membatasi mobilisasi, menjauhi kerumunan) dengan komunikasi risiko yang tepat.

"Sangat penting pemerintah melakukan program testing, tracing, isolasi, karantina serapi, sekonsisten, dan seserius program vaksinasi."

Ini senada dengan pendapat Dr Ines Atmosukarto.

"Kita tetap harus mengurangi mobilitas sosial kita, kita tetap harus pakai masker, dan saat ini aku rasa pakai masker, enggak peduli mau indoor atau outdoor, tetap saja harus pakai masker di Indonesia dengan melihat angka yang [tinggi] begitu," pungkas Ines.

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini yang Dirasakan Pak Jokowi Usai Disuntik Vaksin Covid-19

Berita Terkait