Peneliti dari Griffith University Australia bersama tim dari Amerika Sertikat berhasil mengembangkan terapi antivirus yang telah membunuh viral load COVID-19 pada tikus yang terinfeksi. Eefektivitas terapi mencapai 99,9 persen.

Peneliti utama Profesor Nigel McMillan dari Griffith University menyebut terapi ini sebagai "misi pencarian dan penghancuran" karena secara genetik menargetkan virus yang berpotensi mematikan.

BACA JUGA: Singapura Peringatkan Kerentanan Anak akan Varian Baru COVID, Sekolah akan Ditutup

Tim ilmuwan dari Menzies Health Institute Queensland dan lembaga penelitian City of Hope di AS memulai penelitian kolaboratif sejak April lalu.

Mereka menggunakan pendekatan virus "generasi lanjut" menggunakan teknologi RNA yang membungkam gen untuk menyerang genom virus secara langsung, dan menghentikan penyebaran virus.

BACA JUGA: Menkes Budi Dorong Percepatan Vaksinasi Lansia di Jawa Barat

"Hal itu menghancurkan genom sehingga virus tak dapat berkembang lagi. Kami menyuntikkan nano-partikel yang akan mencari virus dan menghancurkannya," jelas Prof. Nigel.

"Untuk pertama kalinya kami dapat mengemasnya sebagai partikel, lalu meluncurkannya melalui aliran darah untuk menyerang virus," katanya.

BACA JUGA: Tinjau Vaksinasi Gotong Royong yang Pertama, Begini Kata Jokowi

"Ia selanjutnya menuju ke paru-paru dan akan memasuki semua sel paru-paru. Namun hanya sel paru-paru yang terkena virus yang bakal dihancurkannya. Sel-sel normal sama sekali tidak terluka oleh terapi ini," papar Prof Nigel. Bisa menyelamatkan pasien

Menurut penjelasannya, meskipun terapi ini "bukan obat", namun hasil uji coba menunjukkan pengurangan jumlah virus di paru-paru hingga 99,9 persen. Artinya, hampir sama baiknya dengan obat.

“Terapi ini sangat penting misalnya untuk pasien di ICU yang vaksinnya sudah terlambat,” ujar Prof. Nigel.

Ia menambahkan, antivirus tradisional seperti zanamivir dan remdesivir diketahui mampu mengurangi gejala dan membantu orang pulih lebih awal.

“Sedangkan terapi ini justru menghentikan replikasi virus, sehingga tubuh bisa memperbaiki dirinya sendiri dan pemulihannya akan jauh lebih cepat lagi,” jelasnya.

"Kita seharusnya mampu meniadakan pasien yang sekarat akibat penyakit ini - jika ditangani lebih cepat," ujar Prof. Nigel.

Sejauh ini, sudah banyak vaksin yang telah dikembangkan dan digunakan untuk melawan COVID-19, namun terapi langsung untuk melawan virus ini masih sangat terbatas.

"Terapi ini menjadi salah satu yang pertama," katanya.

Dalam penggunaannya nanti, Prof Nigel menjelaskan, pasien COVID di ICU akan menerima suntikan harian selama empat atau lima hari. Sedangkan orang yang baru terpapar COVID, akan disuntik sekali.

Dia mengatakan pengobatan ini dapat tersedia pada awal 2023, tergantung pada hasil uji klinis fase berikutnya.

"Virus ini tidak akan hilang. Kita akan hidup dengannya untuk selamanya," ujar Prof. Nigel McMillan.

Sementara itu peneliti utama Prof. Kevin Morris menambahkan , terapi ini dirancang untuk mengatasi semua betacoronavirus seperti virus SARS asli (SARS-CoV-1) serta SARS-CoV-2 dan MERS.

"Juga untuk setiap varian baru yang muncul di masa depan karena terapi menargetkan wilayah yang sangat terkonservasi dalam genom virus," jelas Prof. Kevin.

"Uji coba kami juga menunjukkan bahwa nano-partikel ini stabil pada suhu 4 derajat Celcius selama 12 bulan serta pada suhu kamar lebih dari satu bulan," jelasnya.

Itu berarti terapi hanya memerlukan sumber daya yang standar untuk mengobati pasien yang terinfeksi.

"Nano-partikel ini dapat diskalakan dan relatif hemat biaya untuk diproduksi dalam jumlah besar," kata Prof. Kevin.

"Penelitian kami didanai oleh Medical Research Futures Fund dan merupakan jenis obat RNA yang dapat diproduksi secara lokal di Australia," tambahnya.

Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal Molecular Therapy.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:

BACA ARTIKEL LAINNYA... 84 Pemudik yang Balik ke Ibu Kota Positif Covid-19, Waspada

Berita Terkait