jpnn.com, JAKARTA - Peneliti dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Susilawati menilai food estate merupakan program yang sangat dibutuhkan demi menciptakan kestabilan pangan nasional.
Sebab, terjadi banyak tantangan pasca pandemi Covid-19 yang berdampak pada sektor pangan dunia.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Kick Off Food Estate di Papua, Siapkan Lahan Jagung 10 Ribu Hektare
"Kita masih ingat dengan jelas ketika wabah covid melanda, hampir seluruh negara produsen beberapa jenis kebutuhan pokok yang menjadi pengeskpor kemudian menutup keran ekspor tersebut, mereka melakukan ini karena bermain safe, mereka cukupi dulu untuk kebutuhan negaranya," ungkap Susilawati dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (22/3).
Menurutnya, Indonesia mempunyai potensi besar dalam sektor pertanian yang perlu terus dikembangkan. Oleh karena itu, pemerintah, yakni dengan keterlibatan beberapa Kementerian seperti Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Pertahanan telah mengambil inisiatif dengan merintis program Food Estate di beberapa daerah di Indonesia.
BACA JUGA: Kabar Baik dari Kementan Terkait Pengembangan Food Estate di Kapuas dan Pulang Pisau
Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kemandirian pangan nasional, serta membuka peluang lapangan kerja baru bagi masyarakat desa dan petani.
Food Estate diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam peningkatan kesejahteraan petani, pengembangan teknologi pertanian, dan peningkatan ekspor produk pertanian.
BACA JUGA: Peneliti BRIN: Program Food Estate di Kalteng Sudah Tepat
"Tujuannya menciptakan semacam kesetabilan dalam pangan, jika sudah stabil, ketersediaan pangan, distribusi dan keterjangkauan akan dengan mudah terpenuhi," tambahnya.
Susilawati membeberkan kawasan Food Estate saat ini sudah mengusung konsep Integrated Farming. Program ini tidak hanya fokus pada peningkatan produksi tanaman pangan, tetapi juga terdapat klaster pertanian lain seperti pengembangan buah, sayur, dan peternakan
Kawasan di Kalimantan Tengah misalnya yang ditargetkan seluas 82.778 hektare pada 2023 ini tidak semuanya untuk pangan seperti padi saja.
"Namun, terdapat kawasan perkebunan dan kawasan hortikultura. Kemudian, usaha tani sistem terpadu atau integrated farming tersebut juga memuat ternak, seperti contohnya, di lahan rawa ada ternak bebek. Sehingga, pendapatan masyarakat akan terbantu," jelas Susilawati.
Susilawati pun menegaskan anggapan lahan Food Estate hanya mengandung monokultur tidaklah benar.
Menurutnya, jenis tanaman yang ditanam di lahan Food Estate sangat ditentukan oleh kondisi lahan yang tersedia. Dalam hal ini, program Food Estate diarahkan untuk menciptakan keberlanjutan produksi pertanian dan memperhatikan keberagaman jenis tanaman yang ditanam.
"Jadi memang sudah ada pembagian wilayahnya, karena untuk menanam pun harus mengerti agroekosistem pada lingkungan. Tidak bisa sembarang dan memaksakan untuk ditanam jenis tertentu kalau memang tidak cocok. Mungkin itu yang membuat seolah FE (Food Estate) ini seolah terlihat monokultur, tidak, ini sudah integrated farming", tutupnya.
Pasokan pangan ke depan diprediksi akan semakin sulit karena adanya pandemi COVID-19, perubahan iklim dan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina.
Dunia dihantui oleh krisis pangan global yang tercermin dari naiknya jumlah penduduk global yang masuk dalam kategori rawan pangan dari semula 135 juta orang pada 2019 menjadi 276 juta orang pada 2022 (PBB, 2022).(mcr10/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul