Peneliti CSIS: Belanja Alutsista Bukan Seperti Beli Rokok, Tidak Bisa Ketengan

Kamis, 17 Juni 2021 – 22:00 WIB
Ratusan Alutsista TNI dipamerkan pada Upacara Perayaan HUT ke-72 TNI di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten (5/10). Perayaan HUT ke-72 TNI mengusung tema Bersama Rakyat TNI Kuat. Foto : Ragil

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti senior Center for Strategic and International Studies (CSIS), Evan A. Laksmana, menyatakan butuh perencanaan jangka panjang dalam menghitung kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) guna menjaga kedaulatan. Sebab, pengadaannya tak seperti membeli mobil dari dealer atau showroom.

"Memang beli senjata itu, kan, bukan kayak kita beli mobil; teken kontrak hari ini, besok datang. Begitu, kan, enggak bisa," ucapnya dalam Trijaya Hot Topic Petang bertajuk "Indonesia Wajib Miliki Pertahanan Kuat" pada Rabu (16/6).

BACA JUGA: Belanja Alutsista Rp 1,7 Kuadriliun Disoal, Guru Connie Bakrie Bela Menhan Prabowo

"(Pengadaan) alutsista bisa dua sampai tiga, bahkan empat tahun kalau kita pesan. Jadi, memang untuk kita beli-beli senjata, alutsista, dan seterusnya itu perlu perencanaan jangka panjang yang bukan cuma satu, dua, sampai tiga tahun bahkan bisa sampai 20 tahun," sambungnya.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan mewajibkan adanya transfer teknologi jika Indonesia terpaksa membeli alutsista dari produsen luar negeri. Menurut Evan, bukan perkara mudah untuk melaksanakannya.

BACA JUGA: Connie Akui Hubungan dengan NasDem, Kritiknya soal Alutsista Dinilai Bias

"Beli alutsista itu kita enggak bisa seperti kita beli rokok, kita beli ketengan, minta dua, minta empat," jelasnya. "Kita harus beli banyak supaya bisa nego transfer teknologi dan seterusnya."

Di sisi lain, Evan berpendapat, usulan anggaran Rp1.700 triliun dalam Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kemenhan-TNI Tahun 2020-2044 bukan angka yang besar. Angka itu dinilainya jauh di bawah rasio 0,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun.

BACA JUGA: Effendi Simbolon Merespons Rencana Pembaruan Alutsista dari Menhan Prabowo, Begini Kalimatnya

"Sebetulnya kalau kita lihat angka segitu untuk 20 tahun dan kita mempertimbangkan kita enggak lebih dari 0,8 dari GDP setiap tahun, sebetulnya angka segitu masih sedikit," tuturnya.

"Kalau kita bicara long term capability development, itu sebetulnya masih cukup minim. Negara-negara lain, seperti China, India, Jepang itu 2-3 kali lipat dari biaya tersebut selama 5-10 tahun terakhir," imbuhnya.

Pada kesempatan sama, Anggota Komisi I DPR, Bobby Adhityo Rizaldi, menegaskan, anggaran Rp1.700 triliun belum final lantaran masih dibahas di internal pemerintah. Beleid tersebut masih harus digodok antara Kemenhan, Bappenas, dan Kemenkeu.

"Namanya rencana itu, kan, ada dari Kementerian Bappenas, abis itu harus ditetapkan sumber pembiayaannya oleh Kementerian Keuangan, Nah, setelah itu resmi dijadikan formal oleh pemerintah, itu diajukan ke DPR untuk dibuatkan RUU APBN-nya yang setiap tahunan," paparnya.

Meski demikian, politikus Partai Golkar ini menegaskan, parlemen mendukung langkah Kemenhan untuk melakukan pengadaan alutsista. Alasannya, postur anggaran tertinggal 10 tahun lebih mengingat pernah tidak ada pengajuan pada 1994-2008.

"Tahun '94 sampai 2008 itu tidak ada pembaruan alutsista sehingga banyak yang tingkat kesiapannya rendah karena melewati batas masa usia pakai. Nah, ini dipercepat di era Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang kedua," tandasnya.

Upaya modernisasi alutsista pada era pemerintahan SBY dikenal dengan kekuatan pokok minimum (KPM) atau minimum essential force (MEF). Ia terdiri dari tiga rencana strategis (renstra) dan berlangsung hingga 2024 mendatang. (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler