Peneliti IPB Sebut Pelabelan Bebas BPA Berpotensi Lebih Membahayakan Konsumen

Senin, 20 Maret 2023 – 18:19 WIB
Dr. Nugraha Edhi Suyatma dalam diskusi media dengan topik “Perlu Tidaknya Peringatan Zat Kimia Berbahaya di Kemasan Pangan Dicantumkan Pada Label". Foto tangkapan layar zoom

jpnn.com, JAKARTA - Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor (IPB) Nugraha Edhi Suyatma menyampaikan pendapatnya tentang pelabelan BPA free terhadap kemasan.

Menurut dia, Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, sebenarnya sudah jelas-jelas menyebutkan bahwa produk-produk yang secara alami tidak mengandung suatu bahan, tidak boleh mengeklaim free dari bahan yang tidak dikandungnya itu. Dia mencontohkan klaim minyak goreng nonkolesterol.

BACA JUGA: Guru Besar IPB Pertanyakan Urgensi Pelabelan BPA Galon: Bukti Belum Kuat

“Ini tidak boleh karena minyak goreng itu pada dasarnya kan memang tidak mengandung kolesterol,” ujarnya dalam diskusi media dengan topik “Perlu Tidaknya Peringatan Zat Kimia Berbahaya di Kemasan Pangan Dicantumkan Pada Label” secara daring, baru-baru ini.

Sebagai ahli pangan, Nugraha melihat air minum dalam kemasan (AMDK) yang menggunakan bahan plastik selain polikarbonat dan melabelinya dengan bebas BPA, itu sangat berisiko dan berpotensi lebih membahayakan publik.

BACA JUGA: Jangan Coba-Coba Usul Formasi CPNS & PPPK 2023 Jika Dana Terbatas, MenPAN-RB Beri Warning 

"Kenapa? Karena, kalau semua plastik boleh mencantumkan free BPA, masyarakat kan tidak mengetahui bahwa pada kemasan itu juga ada zat-zat kimia yang lebih berisiko terhadap kesehatan dibandingkan BPA. Seperti, PVC, PS, PET dan melamin, itu semuanya kan mengandung senyawa berbahaya juga,” bebernya.

Dia menyebutkan, PET yang sebenarnya sudah populer dengan kandungan EG atau etilen glikol dan DEG atau dietilen glikolnya disinyalir juga bisa menyebabkan gagal ginjal dan ginjal akut. Selain itu, juga ada asetaldehida yang terbentuk saat reaksi proses pembuatan pencetakan film atau kemasan, juga bisa menyebabkan karsinogenik.

BACA JUGA: 6 Fakta Kasus Mutilasi di Bogor, Potongan Kaki Kiri Ditemukan di Banten

Ada juga antimon trioksida yang sifatnya bisa karsinogen. Kemudian Phthalate yang toksik pada sistem reproduksi dan endokrin atau hormonal. Juga kemasan berbahan plastik Polystyrene yang banyak dipakai untuk styrofoam, bisa menyebabkan karsinogen bagi manusia.

“Jadi, bisa digambarkan betapa pelabelan free BPA dari kemasan yang nggak ada BPA-nya itu lebih membahayakan konsumen," ucapnya.

Memang betul kata dia, plastik-plastik ini tidak ada BPA-nya, tetapi ternyata kan ada senyawa berbahayanya. Zat-zat kimia berbahaya yang ada dalam kemasannya itu sebenarnya yang harus diinformasikan dalam labelnya kepada publik. Bukan malah bangga melabeli kemasannya dengan free BPA.

Sahid Hadi, Peneliti Bisnis dan HAM Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII), yang juga menjadi narasumber di acara ini mengatakan adanya kesan unsur persaingan usaha terhadap pelabelan free BPA pada kemasan yang tidak mengandung BPA.

"Pelabelan seperti itu terkesan tidak adil dan sangat menjatuhkan kemasan produk-produk pangan yang mengandung BPA seperti kemasan galon guna ulang,” katanya.

Seharusnya lanjutnya, tugas negara yang paling utama adalah untuk memastikan agar usaha air minum dalam kemasan galon itu tidak mengganggu kesehatan. Dia menuturkan AMDK galon itu tidak hanya yang galon sekali pakai, tetapi juga guna ulang yang semua harus diperlakukan secara adil.

Jika telah mengetahui bahwa ada banyak macam AMDK galon, negara harus memastikan agar semua jenis kemasan galon itu tidak boleh mengganggu kesehatan.

"Seluruh AMDK galon itu harus diidentifikasi tingkat keberbahayaannya pada kesehatan publik. Jadi, bukan hanya berfokus pada galon guna ulang saja,” tuturnya.

Terkait pelabelan free BPA pada galon non Polikarbonat ini, Sasmito Madrim, Ketua Umum Aliansi Independen (AJI), yang juga menjadi pembicara menekankan pentingnya peran media dalam melindungi masyarakat dari kemasan-kemasan yang membahayakan kesehatan. Menurutnya, tujuan kode etik dan prinsip jurnalisme yang dimuat dalam Undang-Undang Pers adalah untuk kepentingan publik.

"Media seharusnya menyajikan informasi-informasi yang sudah valid, terbukti kebenarannya, supaya publik kemudian bisa mengambil keputusan-keputusan yang tepat,” katanya. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Said Sebut Surat MenPAN-RB & BKN Membunuh Honorer K2


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler