Peneliti Pusako: Alasan MK Menolak Permohonan Rizal Ramli Patut Dipertanyakan

Minggu, 24 Januari 2021 – 12:58 WIB
Rizal Ramli. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Ari Wirya Dinata menyebutkan, seharusnya Mahkamah Konsitusi (MK) bisa teliti dan cermat saat memutus uji materi yang dimohonkan ekonom senior Rizal Ramli atas ambang batas presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen.

Sebab, kata dia, para hakim MK terikat dengan asas lus curia novit. Yakni hakim MK mengetahui dan harus menggali perkembangan hukum.

BACA JUGA: Gugatan Rizal Ramli Ditolak MK, Pakar Hukum : PT 20 Persen tak Diatur UUD 1945

"Saya rasa seharusnya MK memeriksa pengujian UU berkaitan dengan PT yang diajukan oleh pemohon secara seksama dan cermat karena hakim terikat pada asas Ius curia novit. Di mana ia mengetahui hukum dan harus menggali perkembangan hukum khususnya berkaitan dengan dinamika hukum kepemiluan dan demokrasi di Indonesia," ujar Ari dalam pesan singkatnya kepada jpnn, Minggu (24/1).

Sebagai informasi, MK telah menolak uji materi yang dimohonkan Rizal Ramli atas PT 20 persen. MK beralasan Rizal Ramli tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing saat memohonkan aturan tersebut.

BACA JUGA: MK Tolak Gugatan Rizal Ramli, Mbak Nisa Komentar Begini

MK menilai Rizal Ramli bukan sosok yang terganjal menjadi calon presiden (capres) dari aturan PT 20 persen.

Di sisi lain, Rizal Ramli telah mengajukan bukti dukungan dari sejumlah partai-partai kecil. Namun, ketentuan PT 20 persen ini menggagalkan Rizal Ramli bisa maju sebagai capres.

BACA JUGA: Rizal Ramli Mengingatkan Jokowi, Kalimatnya Pakai Mohon Maaf 2 Kali

Menurut Ari, alasan MK menolak gugatan Rizal Ramli patut dipertanyakan. Terlebih lagi alasan Rizal Ramli mengajukan uji materi memiliki dalil yang jelas.

"Alasan MK menolak memeriksa lebih lanjut perkara ini sebenarnya patut dipertanyakan. Sepanjang dalil dan kerugian konstitusional pemohonnya jelas," ujar dia.

Lebih lanjut, Ari menilai, ketentuan PT 20 persen ini sebuah kekeliruan dalam hukum Pemilu. PT 20 persen sudah kehilangan makna secara hukum, ketika proses Pemilu digabung antara Pileg dan Pilpres.

"Lagi dan lagi pastinya ketentuan ini hanya akan melanggengkan politik elite dan kartel partai besar. Sampai kapan pun proses Pilpres tidak akan pernah menghadirkan calon alternatif sepanjang PT masih ada," ujar dia.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Feri Amsari menyebut perkembangan tentang legal standing di MK mengalami perkembangan. Dahulu MK sangat terbuka dan saat ini cukup tertutup.

"Tentu perspektif MK sangat berbeda dari waktu ke waktu karena hakimnya juga berganti. Hal itu karena MK memang tidak memiliki UU Hukum Acara MK yang mampu memberikan jaminan legal standing setiap warga negara dalam perkara pengujian UU," ucap Feri dalam pesan singkatnya, Minggu. (ast/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler