jpnn.com, JAKARTA - Ekonom senior Rizal Ramli mengatakankan, Indonesia punya pengalaman pahit didera krisis 1998 yang parah.
Presiden Soeharto yang dikenal sangat kuat posisinya akhirnya terjungkal karena kondisi ekonomi sangat parah, bersamaan dengan situasi sosial dan politik juga memburuk.
BACA JUGA: Naikkan Saja Gaji PNS, TNI, Polri, Pensiunan Hingga 125%
"Pak Harto waktu itu lebih mendengarkan nasihat yang salah dari Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan, dan menteri ekonomi pada waktu itu yang condong mengikuti saran IMF. Hal itu justru membuat ekonomi Indonesia terpuruk," tutur Rizal Ramli di kanal YouTube Bravos Radio Indonesia.
Padahal, kata Rizal Ramli, dia dan kawan-kawannya sudah memperingatkan ancaman krisis jauh-jauh hari sebelumnya. Sayangnya malah ramai-ramai dibantah pemerintah.
BACA JUGA: MK Tolak Gugatan Rizal Ramli yang Mengaku Pernah Didukung jadi Capres
Kini, Presiden Jokowi diingatkan mesti berhati-hati dalam menentukan arah kebijakan ekonomi.
Rizal Ramli mengingatkan Jokowi mau belajar dari sejarah agar tidak salah langkah dan membuat bangsa ini terjungkal dalam jurang yang sama.
BACA JUGA: Ini yang Akan Diatur di Revisi UU ASN, Honorer K2 dan PPPK Wajib Tahu
"Tahun 2021, kami katakan, mohon maaf, ekonomi Indonesia akan mengalami krisis yang lebih serius dibanding tahun lalu. Pemerintah hanya menjanjikan angin surga, tetapi nggak akan kembali ke 5,5 persen. Mohon maaf, janji surga itu tidak ada basisnya," tegas mantan Menko Bidang Kemaritiman di periode pertama pemerintahan Jokowi.
Dijelaskannya, sebelum pagebluk COVID-19 melanda, tingkat pertumbuhan ekonomi yang mampu dicapai Jokowi dan tim ekonominya hanya berputar di angka 5 persen.
Kini di tengah terpaan badai Covid-19 yang makin hari angkanya kian seram, tentu tidak realistis angka-angka pertumbuhan yang dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Daya beli rakyat biasa betul-betul hancur, karena tidak ada pekerjaan, gara-gara Covid dan sebagainya. Yang paling penting adalah likuiditas di masyarakat disedot."
"Pemerintah utang terlalu banyak, sehingga primary balance-nya negatif selama enam tahun dan makin besar. Artinya apa? harus membayar bunga saja harus meminjam dan makin lama makin berat," kata mantan Menko Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri era pemerintahan Gus Dur.
Nah, karena harus meminjam, negara harus menerbitkan SUN (surat utang negara) terus menerus. Makin lama kian besar.
Apa yang terjadi? Uang di lembaga keuangan di masyarakat tersedot untuk beli SUN. Ini karena bunga SUN lebih tinggi 2 persen dari deposito.
SUN, kata Rizal, lebih menarik bagi masyarakat karena berapa pun nilai uangnya akan dijamin negara. Bandingkan dengan simpanan lainnya yang hanya dijamin maksimal Rp2 miliar.
Menurutnya, itu yang menjelaskan kenapa banyak uang dan likuiditas yang tersedot untuk membeli SUN.
Hal itu pula yang menjelaskan kenapa pertumbuhan kredit bulan September-Oktober negatif dan kondisi ini belum pernah terjadi sejak 1998.
"Artinya apa? Boro-boro menambahi uang yang beredar dalam ekonomi, yang ada saja disedot, kok bisa mengharapkan ekonomi akan bangkit, daya beli akan bangkit. No Way," tegas Rizal Ramli. (esy/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad