jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah wajib membangun jalur komunikasi lebih transparan dengan dunia industri dan pelaku usaha terkait rencana penerapan nilai ekonomi karbon.
Apalagi, kata dia, tujuan penerapan nilai ekonomi karbon itu agar Indonesia mampu bersaing dengan pasar global.
BACA JUGA: Pertamina Bidik Reduksi Emisi Karbon 34 Ribu Ton per Tahun dari 5.000 PLTS GES
Menurut Fabby, mengatakan munculnya penolakan dari dunia industri di Indonesia tidak lepas dari masalah kurangnya informasi yang diterima dari pemerintah.
“Informasi dan penjelasan dari pemerintah mengenai mekanisme pajak karbon seperti sektor apa saja yang akan dikenakan pajak dan bagaimana cara perhitungan dasar pengenaan pajaknya memberikan ketidakpastian bagi dunia industri,” kata Fabby saat menjadi panelis podcast bertajuk “Pro dan Kontra RUU KUP Pajak Karbon Untuk Indonesia” yang diselenggarakan Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI), Sabtu (11/9).
BACA JUGA: Perusahaan Swasta Mulai Menerapkan Nol Emisi Karbon
Fabby dalam kesempatan itu menyinggung mekanisme penerapan nilai ekonomi karbon melalui cap and trade, serta pajak karbon.
Dia sependapat bahwa kombinasi kedua mekanisme tersebut merupakan cara yang ideal bagi Indonesia untuk mengakselerasi penerapan nilai ekonomi karbon.
BACA JUGA: Realisasikan Pajak Karbon Demi Menjaga Daya Saing Indonesia
Dari sisi pemerintah, katanya, penerapan cap and trade dibahas melalui draf Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Sementara, penerapan pajak karbon dibahas melalui RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Dalam penerapan di industri, lanjut Fabby, baik cap and trade dan pajak karbon dapat diterapkan untuk subsektor yang berbeda dengan memandang efisiensi, efektivitas, dan tentunya dampak terhadap keseluruhan kegiatan ekonomi di Indonesia.
Dia mencontohkan sektor ketenagalistrikan dapat menggunakan skema cap and trade sebagai mekanisme untuk mitigasi emisi karbon.
Terlebih lagi, skema ini sudah dijalankan secara internal oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada PLTU-PLTU yang dimiliki oleh PLN.
Fabby mengapresiasi inisiatif PLN tersebut.
Dia berpendapat skema cap and trade, setelah adanya peraturan perundang-undangan dapat dikembangkan kepada PLTU milik IPP.
Di sisi lain, pajak karbon misalnya dapat diterapkan pada sektor transportasi, yang mana setiap volume bahan bakar fosil yang dijual telah memperhitungkan pajak karbon atas emisi dari bahan bakar tersebut.
Sehingga perhitungan dan dasar pengenaan pajak karbon atas bahan bakar di sektor transportasi bisa menjadi lebih mudah dan lebih transparan
Pendiri PJCI Eddie Widiono dalam kesempatan itu menegaskan pentingnya nilai ekonomi karbon bagi daya saing Indonesia.
Menurut dia, Indonesia tidak memiliki keleluasaan untuk menunda penerapan nilai ekonomi karbon.
Eddie menjelaskan konsep daya saing sebuah negara di pasar global saat ini mengalami pergeseran.
Menurutnya, daya saing tidak melulu ditentukan oleh kualitas atau harga dari barang dan jasa, tetapi sudah memperhitungkan biaya eksternalitas yang ditimbulkan dari jejak emisi karbon barang dan jasa tersebut.
“Menunda penerapan nilai ekonomi karbon dengan tujuan menjaga daya saing Indonesia sebenarnya kontraproduktif dalam kerangka berpikir daya saing global saat ini,” papar Eddie Widiono.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR Senin (29/7) menyampaikan rencana menerapkan pajak karbon pada 2022.
Pajak karbon menjadi salah satu rencana yang tertuang dalam RUU KUP yang dibahas pemerintah bersama DPR.
Tarif pajak karbon masih didiskusikan hingga ke ranah internasional agar praktik penerapan harga lebih seragam. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy