jpnn.com, JAKARTA - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menolak diberlakukannya Perppu Ormas yang diterbitkan Presiden Joko Widodo pada Senin (10/7).
Peneliti PSHK, Rizky Argama mengatakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) atas UU Nomor 17 tahun 2013 sangat bertentangan dengn putusan Mahkamah Konstitusi.
BACA JUGA: Demokrat Minta Pemberlakuan Perppu Ormas Tunggu Putusan DPR
"Dari segi prosedural, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi tiga prasyarat kondisi sebagaimana dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 38/PUU-VII/2009," ujar peneliti PSHK, Rizky Argama dalam keterangan persnya, Kamis (13/7).
Tiga prasyarat kondisi yang dimaksud Rizky adalah: pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai.
BACA JUGA: Pak Wiranto Tegaskan Perppu Ormas bukan Demi Presiden Jokowi
Dan Ketiga, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU.
"Ketiga prasyarat itu dinilai PSHK jelas tidak terpenuhi karena tidak adanya situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas," kata Rizky.
BACA JUGA: Ancaman Khilafah Islamiyah Nyata, GP Ansor Ajak Masyarakat Dukung Perppu Ormas
UU Ormas dengan jelas telah mengatur mekanisme penjatuhan sanksi, termasuk pembubaran terhadap ormas yang asas maupun kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dari segi susbtansial, menurut Rizky, Perppu Ormas telah menghilangkan bagian penting dari jaminan kebebasan berserikat di Indonesia, yaitu proses pembubaran organisasi melalui pengadilan.
Pasal 61 Perppu Ormas memungkinkan pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan.
Padahal, proses itu penting untuk menjamin prinsip due process of law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil.
Mekanisme ini, jelas dia, juga mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah dalam membubarkan ormas.
Dengan kata lain, lanjut Rizky, Perppu Ormas telah menempatkan posisi negara kembali berhadap-hadapan dengan organisasi masyarakat sipil, sama seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Ia mengingatkan, pembubaran ormas tanpa melalui jalur pengadilan terakhir kali terjadi saat pemerintah Orde Bar melalui UU 8/1985. Pemerintah membubarkan secara sepihak organisasi Pemuda Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) pada 1987.
"Ketentuan itu sangat problematik karena memungkinkan negara untuk menghukum orang bukan karena tindakan pidana yang dilakukan, melainkan karena status keanggotaan di dalam sebuah ormas," kritiknya.
Demi menghindari situasi yang kontraproduktif terhadap perkembangan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia, tegas Rizky, PSHK mendorong DPR untuk menolak Perppu 2/2017 dalam masa sidang berikutnya.
"Selain itu, tanpa perlu menunggu proses pembahasan Perppu Ormas di DPR, upaya kalangan masyarakat sipil untuk mengajukan permohonan pengujian Perppu Ormas ke Mahkamah Konstitusi juga harus terus didorong," imbuhnya. (wid/jpg/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... HNW: Dulu, Wiranto Mau Tempuh Jalur Hukum, Kenapa Sekarang Perppu?
Redaktur : Tim Redaksi