jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi ikut menyoroti ketentuan soal upah minimum di omnibus law RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan pemerintah ke DPR.
Menurut Baidowi, aturan pengupahan itu hanya salah satu dari masalah yang ada di RUU Cipta Kerja, setelah dia mengamati sejumlah konten dalam RUU sapu jagat tersebut.
BACA JUGA: Dukung Sertifikasi Halal di Omnibus Law, DPR Ingin Sistem Ringkas
"Isi dari RUU memang banyak problem. Tidak hanya mengenai tenaga kerja tetapi juga persoalan lainya. Contoh upah kerja disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Ini tidak fair," kata Baidowi di kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (21/2).
Sekretaris Fraksi PPP DPR ini memandang pengaturan upah minimum oleh Gubernur dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan mengacu pada pertumbuhan ekonomi, tidak adil karena setiap daerah berbeda-beda kondisi ekonominya. Hal ini akan berdampak pada upah yang diterima pekerja. Bahkan bisa ada yang tekor.
BACA JUGA: Omnibus Law Sebaiknya Dibahas di Baleg DPR
"Pertumbuhan ekonomi daerah masing-masing berbeda. Contoh Papua pada 2019 mengalami defisit. Kalau itu menggunakan standar daerah sudah pasti upah yang diterima pada tenaga kerja mengalami minus," kata Baidowi.
Ada juga masalah sertifikasi halal yang belakangan juga menjadi kontroversi. Katanya itu merupakan suatu kesatuan perintah dari UU Jaminan Produk Halal. Di mana yang memiliki otoritas menerbitkan sertifikat adalah Badan Pelaksana Jaminan Produk Halal (BPJPH).
BACA JUGA: Bahas Omnibus Law, Ketua DPR Minta Masukan Ulama
"Persoalan rekomendasi bisa dilakukan ormas Islam, tidak hanya MUI. Itu lebih lentur tidak hanya menjadi monopoli MUI. Karena MUI itu ya ormas juga statusnya, sama dengan ormas lain. Hal yang seperti ini bisa dibicarakan lebih lanjut. Bisa dikomunikasikan," ujarnya. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam