Pengabdian Tanpa Batas si Perawat Cantik Najemah di Daerah Terisolir

Rabu, 16 Agustus 2017 – 00:05 WIB
Para bidan honorer di Kolut yang sedang menuju ke rumah pasien. Foto: Muh Rusli/Kendari Pos/JPNN.com

jpnn.com - Desa Torotuo Kecamatan Rante Angin di Kolaka Utara (Kolut), Sulawesi Tenggara, tergolong daerah terisolir. Tidak ada Puskesmas apalagi perawat yang ada di tempat pengobatan itu.

Muhammad Rusli, Kolaka Utara

BACA JUGA: Tempuh 30 Kilometer Jalan Berlumpur Tanpa Digaji Sepeser pun

Selama ini, warga desa tersebut hanya bisa pasrah kalau ada salah satu keluarga mereka terserang penyakit.

Alhamdulillah, ada Najemah, S.Kep, Ners perawat cantik bersama dua rekan seprofesinya mau mengabdi di desa berpenghuni 34 kepala keluarga (KK) tersebut.

BACA JUGA: Puluhan Perawat di RSUD jadi Korban Tindak Asusila, Mr Black Dibekuk

Sinar mentari begitu terik, kemarin. Padahal, jarum jam baru menunjukkan pukul 09.00 wita. Namun suasana alam yang kurang bersahabat itu tak menyurutkan niat Najemah, bidan cantik bersama dua rekan seprofesinya, Srinanengsih, S.Kep dan Yunira yang masih berstatus honorer.

Mereka menelusuri jalan setapak menuju desa Torotuo, salah satu kampung paling terisolir di Bumi Patampanua (Kolut).

BACA JUGA: Perawat Digaji Rp 75 Ribu per Bulan, Bikin Dongkol

Najemah menggunakan baju perawat, celana yang sedikit ketat plus sepatu kets sehingga memudahkan pergerakannya naik-turun lembah. Di punggungnya ada tas ransel berisi perbekalan dan obat-obatan. Kedua rekannya juga membawa bekal yang kurang lebih hampir sama.

Pakaian mereka seperti itu memang sangat mendukung, mengingat kondisi jalan menuju kawasan puncak perbukitan Rante Angin, lokasi desa Torotuo sangat ekstrim.

Akses setapak berdinding bukit dan jurang yang curam. Sehingga kalau tidak hati-hati bisa sangat berbahaya buat keselamat mereka.

Namun, semua tantangan itu mereka hadapi dengan semangat pengabdian. Istilahnya, mereka rela bertaruh nyawa mendaki bukti dan menyeberangi jurang curam demi menyelamatkan pasien yang ada di kampung tersebut.

Sungguh dedikasi dan pengabdian tanpa batas yang patut diteladani. "Masyarakat di sana (desa Tototuo) sangat membutuhkan perawatan medis. Kami lakukan semua ini demi kemanusiaan," kata Najemah.

Memang tak bisa dibayangkan, jika Najemah dan kawan-kawan tak rutin datang di desa yang berpenghuni seratusan orang itu. Sebab, tak ada pelayanan medis di situ.

Kalau ada warga yang sakit harus menunggu hari pasar di kecamatan untuk cek kesehatan dan membeli obat.

Itupun hanya sekali sepekan dan medan yang dilalui juga sangat berbahaya untuk sampai di pasar tersebut. "Itulah salah satu alasan, sehingga kami terketuk untuk mengabdi di sini dengan segala konsekuensinya," ujarnya.

Untuk sampai ke Torotuo, ada dua jalur yang bisa ditempuh, yakni bisa melalui rute lurus dari ibu kota kecamatan Rante Angin. Kira-kira bisa 5 jam ditempuh dengan jalan kaki.

Bisa juga mengitari bukit perkampungan Desa Raodah Kecamatan Lambai menggunakan roda dua, tapi di ujung kampung harus berjalan kaki, kurang lebih sejam lamanya. Nah, alternatif kedua inilah yang digunakan Najemah bersama dua rekannya.

"Mendaki terus jalannya semakin sempit dan sebagian jurang dan hutan. Jadi, kalau sampai rumah pertama simpan motor karena jalan sulit dan licin. Kami jalan kaki sekira dua kilometer jauhnya," jelas perempuan berhijab ini.

Pada hari-hari tertentu, tak hanya mereka bertiga yang datang. Kadang ditemani rekan seprofesi lainnya, Nuraeni, S. Kep,.Nurs.

Perjalanan yang meletihkan ini kerap dilalui mereka berempat. Jika lelah "menyapa" mereka tak sungkan singgah melepas penat di bawah pohon sembari mengusap keringat yang bercucuran.

Najemah telah melakoni profesinya sejak 2005. Selain desa Torotuo, masih ada enam desa lainnya juga yang dikunjungi. Rata-rata medannya hampir sama sulitnya.

Namun, dia lakukan semua itu demi pengabdian pada kemanusiaan. Menolong sesama yang membutuhkan.

"Pernah juga ada teman yang ikut tapi jatuh ke jurang dengan motornya karena jalan sempit dan curam. Syukur tidak terjadi apa-apa. Namun setelah itu dia kapok ikut," kenangnya.

Uang saku kunjungan per desa dari Puskesmas hanya Rp 50 ribu. Padahal, jika harus berkunjung ke desa itu saja, misalkan untuk pembeli bensin pun tak cukup. Makanya, ia bersama rekannya kadang menguras uang pribadi setiap kali perjalanan.

Ada warga yang siap mengantarnya sampai pertengahan jalan lalu mereka lanjutkan dengan berjalan kaki.

"Mereka itu kami belikan pembeli bensin dan rokoknya. Tak enak juga sudah susah payah bantu kita tapi tidak diberi sesuatu," ungkap alumni Akper Angin Mamiri Makassar itu.

Di Dusun IV Toratuo memang tidak ada petugas kesehatan. Di sana terdapat 34 KK, ada 20 balita dan pelajar dengan jumlah yang sama. Kalau ada warga yang sakit, maka keluarga tidak mampu berbuat apa-apa.

Hanya sekali seminggu mereka turun gunung mengingat perjalanan yang jauh dan akses sulit hingga pengobatan kerap terlambat.

"Pernah ada ibu hamil mau cek kesehatan dengan turun ke kecamatan tetapi terjatuh di tengah perjalanan dan pendarahan. Mau lanjut susah kembali pun jauh. Tetap akhirnya dikembalikan ke gunung dan dipanggil bidan ke sana," ceritanya.

Peristiwa inilah membuat Najemah iba dan tidak berpikir panjang untuk rela bertaruh nyawa, untuk naik-turun gunung melalui medan ekstrim melakukan pelayanan vaksin bagi para balita hingga memeriksa kesehatan para warga di wilayah pegunungan itu.

Padahal, di awal menjelajah sudah sempat menyerah karena merasa tidak sanggup melakukan perjalanan secara rutin dengan medan berbahaya seperti itu.

"Saya bilang mungkin yang pertama dan terakhir. Tetapi saya sadar kalau mereka (warga) sangat membutuhkan pelayanan kesehatan dan obat-obatan," tuturnya.

Jen, sapaan Najemah selalu semangat menjalani perjalanan itu karena disamping Srinaengsih yang mendampinginya, Yunira dan Nuraeni juga tak pernah menolak ajakan untuk naik turun gunung demi kesehatan para warga di sana khususnya balita.

Meski penuh rintangan, suami Jen yakni Brigadir Muh. Natsir, Babimkantibmas Polsek Rante Angin yang wilayah tugasnya meliputi Desa Torotuo, Lawekara dan Pohu juga selalu mendukungnya.

"Kadang suami(Natsir, red) juga ikut mengantar kalau tidak ada tugas mendesak. Karena kalau kita pergi pagi, pulangnya bisa sampai sore karena persoalan akses itu yang sulit dan jauh," tambahnya.

Setiap kali para perawat tangguh ini naik gunung telah ada surat dan pesan pemberitahuan kepada pemerintah setempat.

Mereka datang lebih dulu agar disampaikan ke warga hingga berkumpul di satu rumah saja untuk melakukan pelayanan.

Terkecuali yang dirawat di rumah harus ia datangi meskipun jarak antara hunian yang satu dengan lainnya terkadang ada yang sampai satu kilometer lebih.

Pelayanan yang mereka lakukan baik berupa pemberian vaksin ke balita hingga cek kesehatan warga tentunya secara gratis.

Begitupun obat-obatan, setiap kunjungan membawa lebih dari cukup dan dititip ke rumah BPD setempat agar warga yang butuh langsung bisa mendapatkannya tanpa harus menunggu sepekan.

"Kalau ke pasar itu mereka berangkat jam 03.00 wita dari dusun IV agar tiba di pasar pagi-pagi," timpal Srinanengsih.

Masyarakat bersyukur karena para perawat seperti Najemah, Srinanengsih, Yunira, Nuraeni mau mengunjungi mereka yang jauh dari wilayah kecamatan.

Jen bersama Srinanengsih juga memiliki tanggung jawab di Dusun IV Desa Maroko. Di Maroko, Jen dan Srinanengsih punya rekan perawat lain yakni Milka.

Mereka juga akan melintasi penyeberangan darurat dari Desa Tinukari itu menggunakan tali sling menembus puncak bukit di sana.

Bagi Jen, bertugas di wilayah-wilayah terpencil penuh tantangan dan pengalaman perjalanan yang membuatnya jauh lebih memahami betapa pentinyanya sosok petugas kesehatan bagi masyarakat. Ia mengaku puas apabila melihat anak-anak yang sebelumnya sakit sudah bisa bermain.

Begitu juga warga yang sakit kembali tersenyum di tengah-tengah keluarga mereka yang mayoritas pekerja keras dengan cara berkebun. (b/*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perawat di Pedalaman Digaji Rp 100 Ribu per Bulan


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler