jpnn.com - Sepuluh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas Kambowa, Buton Utara, Sulawesi Tenggara, sudah sekian lama berstatus honorer. Mereka menanti kebijakan Jakarta untuk mengangkat mereka menjadi PNS.
Hadrian Indra Mappa, Buranga
BACA JUGA: Usulkan Pengangkatan 5.200 Pegawai, Digaji Mirip PNS
Tujuh bulan terakhir, Enci Karisma merawat dengan telaten semangat pengabdian di hatinya. Dari rumahnya, perempuan berusia 22 tahunan ini, saban hari kerja, harus melintasi medan yang tak ramah.
Dengan sepeda motor pemberian orang tuanya, ia berangkat dari rumahnya di Desa Konde, Kecamatan Kambowa di Buton Utara ke Puskesmas di kecamatan itu. Namanya tercatat sebagai tenaga perawat.
BACA JUGA: 1.011 Honorer Mendapat SK Bupati
Tapi ketika awal bulan, kala koleganya di Puskesmas itu meneken slip gaji, ia hanya tersenyum kecut.
Alih-alih digaji, dapat honor pun tidak. Mulai dari urusan transportasi, makan serta keperluan lainnya, ditanggungnya sendiri.
BACA JUGA: Honorer Digerebek di Sebuah Barak
“Yah, sebulan lebih dari Rp 300 ribu harus saya keluarkan untuk biaya bolak-balik dari rumah ke sini (Puskesmas). Orang tua yang talangi. Kan status saya di sini masih honorer,” kata Enci, ketika disambangi Kendari Pos (Jawa Pos Group), kemarin di tempatnya mengabdi.
Tapi perempuan muda ini tak merasa kecewa. Setidaknya, ia masih diberi izin menggunakan seragam perawat, yang serupa dengan tenaga medis “asli” di tempat itu.
Kebanggaan menjadi seorang perawat, sudah lama ia idamkan. Ia amat paham, bagaimana terbatasnya kondisi keuangan di Puskesmas tempatnya bekerja, hingga ia tak sekalipun menuntut macam-macam.
Enci tak sendiri. Di Puskesmas yang berdiri megah di pusat kecamatan itu, juga ada sembilan tenaga honorer yang nasibnya serupa.
Selama ini, kata dia, modal mereka mengabdi adalah surat keputusan (SK) pengangkatan yang dikeluarkan Kepala Puskesmas Kambowa. Mereka baru boleh diberi honor bila SK-nya diteken Bupati.
Alumni kampus Akademi Keperawatan (Akper) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kendari ini mengaku tetap senang bisa diberi kesempatan mengaplikasikan ilmunya di tempat kelahirannya itu. Jadi, meski tak menerima honor, ia tak mengeluh.
Padahal, jika mau jujur, tantangannya untuk sampai ke tempat kerja, tak ringan. Jalan menuju Puskesmas, masih tergolong rusak.
“Tiap hari, hampir 30 kilometer bolak balik saya lewati jalan lumpur dan berlubang,” kisah sulung dari lima bersaudara ini.
Dari pengakuannya, sudah ada permohonan yang pernah ia ajukan ke Bupati Buton Utara agar nasibnya bersama kawan-kawannya yang lain bisa naik menjadi honorer daerah yang digaji lewat APBD.
Kendati sedikit, tapi itu sudah jalan menuju terbukanya lahan pengabdian yang permanen, dan setidaknya mengurangi beban pengeluaran yang mereka tanggung sendiri.
"Bekerja nirgaji sangat berat dan tak mudah. Namun, tekad saya untuk mengabdi dan mendapatkan pengalaman kerja begitu besar. Sehingga saya memutuskan untuk tetap bertahan kendati merelakan uang pribadi habis untuk ongkos transportasi," ucapnya dengan lirih.
Kendati tak tahu sampai kapan bisa bertahan, wanita ini hanya berharap agar permohonannya bisa dikabulkan secepatnya oleh bupati.
Sebagai ilustrasi, Puskesmas Kambowa lumayan bagus untuk ukuran sarana kesehatan di tingkat kecamatan.
Tiga bangunan berdiri kokoh di area itu difungsikan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi warga yang sakit. Tenaga medisnya cukup.
Ada satu dokter plus puluhan pegawai negeri sipil dan ditambah tenaga honorer. Jika ditotalkan sebanyak 60 petugas bekerja di puskesmas itu.
Kendati sarana dan prasarana lumayan memadai, Puskesmas itu melayani rawat inap bermodalkan empat ruangan kamar, obat seadanya dan satu dokter umum.
Sepuluh tenaga honorer tanpa gaji di tempat itu tak sekalipun mengeluh berlebihan dengan kondisi mereka.
Keterampilan merawat pasien tak kalah cekatannya dengan pegawai yang mendapatkan gaji bulanan.
Bahkan, mereka sesekali harus berdinas malam demi merawat dan menjaga pasien yang dirawat inap agar segera pulih dari sakitnya.
Mereka rata-rata bermukim di kecamatan yang sama, hanya berbeda desa. Tapi setiap hari, perjalanan menantang harus mereka lakoni. Melintasi belantara, dengan medan tak ramah jadi menu harian.
Hanya harapan agar segera diangkat jadi honorer, dengan SK Bupati yang jadi impian terdekat mereka. Syukur-syukur bila suatu saat dipatenkan jadi PNS.
Rekan Enci, bernama Suhardipo juga punya cerita serupa. Bedanya, ia mengaku telah mengantongi SK Bupati dan telah mengabdi kurang satu tahun lebih sebagai tenaga honorer.
Gajinya Rp 300 ribu sebulan, meski itu juga dibayar pertriwulan. Alumni Unidayan Baubau ini menambahkan, kendati tak digaji sepeluh orang rekannya itu tetap aktif masuk kantor memberikan pelayanan.
Sementara itu, Bupati Kabupaten Buton Utara, Abu Hasan tak menampik, memang ada tenaga honorer tak mendapatkan gaji karena minimnya anggaran yang tersedia.
"Tenaga honorer yang mengajukan mendapatkan SK Bupati menumpuk. Kini tengah divalidasi dan disinkronkan apakah mereka bisa diangkat menjadi tenaga honorer atau tidak. Pertimbangannya kemampuan anggaran," ujar Abu Hasan.
Kendati demikian, Mantan Karo Humas Pemprov Sultra itu tetap mengimbau, kepala puskesmas agar memperhatikan nasib tenaga honorer melalui anggaran taktis untuk meringankan beban mereka. Ia pun berjanji, akan menyelesaikan masalah honorer yang tak mendapatkan gaji.
"Mereka yang menjadi sukarelawan saya akan perhatikan. Semua data tenaga honerer tengah divalidasi berapa jumlahnya," pungkasnya. (***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... GGD Diangkat jadi PNS, Bagaimana Nasib Honorer di Wilayah 3T?
Redaktur & Reporter : Soetomo