Karena pandemi COVID-19 dan situasi ekonomi Australia saat ini sebagian anak muda kembali lagi ke rumah orang tua mereka setelah sebelumnya tinggal terpisah dari mereka.

Bagi sebagian keluarga asal Indonesia di Australia, tinggal bersama orang tua meski sudah memiliki penghasilan sendiri, bukan semata-mata karena pertimbangan ekonomi.

BACA JUGA: Luhut: Pelajar Pemenang Champion SAC 2022 Akan Diberangkatkan ke Australia

Survei ekonomi yang baru-baru ini dilakukan lembaga Finder di Australia menyebutkan ada sekitar 13 persen keluarga - sebanyak 858 ribu keluarga - di mana anak-anak mereka kembali lagi ke rumah selama 12 bulan terakhir.

Salah satu alasan utama mereka kembali ke rumah adalah karena alasan ekonomi dengan beban untuk membayar sewa kontrakan menjadi alasan dari 31 persen mereka yang menjawab survei.

BACA JUGA: Australia dan Singapura Kirim Obat Gagal Ginjal Akut ke Indonesia

Salah seorang di antaranya adalah Benjamin Jarick (20 tahun) mahasiswa yang sekarang masih kuliah di Universitas Melbourne.

Benjamin berasal dari keluarga campuran di mana ibunya berasal dari Indonesia dan ayahnya orang Australia.

BACA JUGA: KNPI Tidak Terima Pulau Pasir Diklaim Australia, Bakal Ada Aksi Massa

Ben, nama panggilannya keluar rumah di bulan Februari 2020 di awal pandemi untuk tinggal di dekat kampusnya walau ibunya juga tinggal di kota yang sama, Melbourne.

"Saya keluar rumah untuk bisa hidup mandiri, melakukan semua sendiri, mencari penghasilan , dan bisa mengalami masa-masa sebagai mahasiswa," kata Benjamin kepada ABC Indonesia. 

Namun hanya beberapa minggu kemudian Benjamin memutuskan kembali ke rumah ibunya karena adanya pandemi di mana sistem perkuliahan dilakukan online dan restoran tempatnya bekerja ditutup.

Sekarang dengan perkuliahan tatap muka sudah kembali dilakukan dan perekonomian berjalan normal, Benjamin memutuskan pindah lagi dekat kampusnya sejak beberapa bulan lalu.

Pengalamannya dalam 3 tahun terakhir, keluar dari rumah kemudian pulang lagi dan sekarang hidup mandiri memberikan banyak pelajaran bagi Benjamin yang sekarang mengambil jurusan Bahasa Indonesia dan Politik di Universitas Melbourne tersebut.

"Ketika keluar pertama saya tidak siap, belum bisa menyesuaikan diri dengan teman satu rumah," katanya.

"Karena pandemi saya pulang dan sangat menghargai kebaikan ibu saya untuk menerima saya kembali, dan sekarang keluar lagi saya lebih siap untuk tidak mengulangi kesalahan ketika pertama kali keluar."

Di Australia, mereka seperti Benjamin Jarick ini disebut sebagai generasi bumerang, yaitu mereka yang sebelumnya sudah keluar dari rumah ketika kuliah atau bekerja kemudian kembali lagi ke rumah orang tua.Generasi yang tinggal bersama orang tua juga meningkat

Selain generasi bumerang tersebut data dari Sensus di Australia di tahun 2021 menunjukkan bahwa adanya lebih dari 456.543 orang yang berusia antara 25-34 tahun yang masih tinggal bersama orang tua mereka.

Dibandingkan di tahun 2016 kenaikannya adalah 17 persen.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Industri Studi Masalah Keluarga di Australia (AFIS), mereka yang tinggal di kota besar lebih cenderung untuk tetap tinggal bersama orang tua mereka meski mereka sudah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri.

Menurut peneliti AIFS Lixia Qu, faktor budaya menjadi salah satu alasan mengapa anak-anak muda masih tinggal bersama keluarga mereka.

"Di antara anak-anak muda yang lahir di Australia, mereka yang berasal dari Asia, Timur Tengah, Afrika dan Eropa Timur lebih banyak tinggal bersama orang tua dibandingkan mereka yang memiliki latar belakang Australia, Eropa Barat atau Selandia Baru," kata Qu kepada ABC.

Jane Suharto  (27 tahun) sudah bekerja sebagai analis bisnis di sebuah perusahaan teknologi finansial dan tahun depan belajar untuk menjadi notaris karena dia menyelesaikan pendidikan di dua jurusan yaitu bisnis dan hukum.

Sejak tiba di Australia bersama orang tuanya dari Indonesia 17 tahun lalu, Jane masih tinggal bersama kedua orang tua dan adik-adiknya di Melbourne.

Menurutnya alasannya masih tinggal di rumah lebih banyak karena alasan keluarga.

"Walau orang tua saya punya pemikiran cukup progresif, saya rasa mereka juga memegang budaya tradisional seperti anak perempuan harus tinggal bersama orang tua sampai menikah," katanya kepada ABC Indonesia.

Menurut Jane pribadi, dia tidak sepenuhnya mengerti alasan tersebut namun dia juga melihat dalam keluarga besarnya yang tinggal di Indonesia juga masih mengikuti pandangan seperti itu.

Walau begitu, Jane bisa memahami pendapat tersebut karena adanya juga keuntungan lain misalnya secara ekonomi, di mana dia tidak harus mengeluarkan biaya seperti kalau dia hidup sendiri.

"Sekarang saya dan adik perempuan saya sudah menabung uang yang cukup untuk membayar deposito apartemen kecil atau untuk liburan ," katanya.

Sama seperti anak-anak  muda lain Jane juga bermimpi untuk hidup mandiri untuk bisa melakukan berbagai hal yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan orang tua.

Sekarang dia mengatakan menemukan kompromi.

"Dalam waktu dekat saya ingin membeli rumah tinggal sendiri yang cukup dekat dengan rumah keluarga," katanya.

"Dengan itu saya bisa tinggal di rumah sendiri dan mendapatkan kebebasan dan kesempatan untuk melalui pertumbuhan pribadi, tapi juga masih dekat dengan orang tua."Senang mereka di rumah

Sementara itu Dennis Siaril (26 tahun) yang juga tinggal di Melbourne mengatakan tidak memiliki alasan khusus mengapa dia masih tinggal bersama kedua orang tuanya sejak mereka pindah dari Indonesia 18 tahun lalu.

Dennis yang sekarang bekerja di bank di bidang IT tersebut mengatakan bahwa dia senang tinggal di rumah.

"Mungkin kalau ditanya lebih mendalam, saya bisa mengatakan adalah untuk menemani orang tua karena kakak laki-laki saya sudah menikah dan pindah dari rumah," katanya.

Karena sudah bekerja, Dennis juga memberikan sumbangan bagi perekonomian rumah tangga dengan membayar pembelian bahan-bahan makanan.

"Saya suka dengan mereka ada di rumah dan saya merasa bahwa mereka juga suka dengan saya masih di rumah," katanya.

Menurut pemuda kelahiran Jakarta tersebut, kemungkinan dia akan keluar dari rumah adalah bila nantinya dia sudah menikah atau kalau bekerja di negara lain seperti Jepang atau Singapura.Bagaimana pendapat orang tua?

Eka Puspa Sari (50 tahun) tinggal bersama dengan putranya Hosea Hartono di Sydney meski anak satu-satunya tersebut sudah memiliki properti yang disewakan.

Eka mengatakan anaknya sudah memiliki properti yang sekarang disewakan sejak berusia 19 tahun, dan rumah yang ditempatinya sekarang juga dibeli patungan bersama anaknya tersebut.

"Anak saya sudah bekerja sejak usia 14 tahun dan bekerja penuh waktu setelah tamat sekolah menengah di usia 18 tahun," kata Eka.

Meski bisa hidup sendiri, menurut Eka, anaknya memutuskan tinggal bersama ibunya karena pertimbangan ekonomi dan juga kenyamanan dengan keluarga.

"Dia pernah bilang ingin tinggal sendiri, dan saya mengatakan silahkan coba misalnya enam bulan," kata Eka lagi.

"Tetapi setelah dia hitung-hitung berbagai biaya yang harus dikeluarkan, dia memutuskan tetap tinggal bersama saya," katanya.

Menurut Eka, hubungannya dengan anaknya seperti teman dan itu menyebabkan mereka bisa hidup bersama.

"Dari pengalaman yang saya lihat dengan keluarga di Australia, selain karena faktor budaya bagi banyak keluarga Asia, mereka yang keluar selain ingin mandiri juga biasanya anak-anak tersebut merasa tidak nyaman di rumah," katanya.

"Dengan anak saya, dia bayar $300 (sekitar Rp3 juta) per bulan untuk cicilan rumah dan itu sudah termasuk semuanya untuk tinggal di sini, sementara di properti yang disewakan dia masih dapat bayaran.

"Setiap minggu gaji yang didapatnya $1500. Jadi setelah dihitung-hitung, dia merasa lebih enak tinggal bersama saya."

BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Buah dan Sayuran di Australia Terancam Naik Delapan Persen Akibat Banjir

Berita Terkait