MUNGKIN saya termasuk wartawan Jawa Pos yang cukup beruntungSepanjang yang saya tahu, selain Ibu Nany Wijaya (kini direktur PT Jawa Pos, Red), saya adalah yang paling sering melakukan liputan ke luar negeri
BACA JUGA: Kadhafi Diprediksi Bakal Bunuh Diri
Salah satu kebiasaan Pak Dahlan Iskan adalah memberikan penugasan mendadak ke wilayah sulit dan harus berhasilWaktu itu, September 1986, saya sudah satu bulan di Pakistan, mondar-mandir di Kota Karachi dan Islamabad
BACA JUGA: Tangkap Ratusan Aktivis Pengobar Revolusi Melati
Semula saya ditugasi meliput kekisruhan politik antara Benazir Bhutto melawan diktator Jenderal Zia ul HaqBACA JUGA: BNP2TKI Terus Monitor Keberadaan TKI di Libya
Umur saya baru 25 tahun dan saya baru setahun menjadi wartawan Jawa PosJadi, nekat saja ketika Pak Dahlan menugaskan ke Pakistan untuk meliput krisis politik di sana.Saya hampir sebulan ketika suatu hari menerima teleks dari SurabayaMaklum, saat itu komunikasi belum secanggih sekarangTidak ada BBM (BlackBerry Messenger), dan faksimili masih jarangTelepon antara Pakistan dan Surabaya juga susah sekaliSatu-satunya alat komunikasi yang lancar ialah teleksPesan teleks yang saya terima dari Pak Dahlan singkat saja: Saya minta Anda cari jalan ke Iran atau Libya, jangan pulang ke Surabaya dulu.
Pusing kepala saya menerima pesan pendek ituMula-mula saya menghubungi Konjen Iran di Karachi, tapi saya ditolak karena harus meminta visa di JakartaAkhirnya dengan penuh kenekatan saya ke Kedubes Libya di Islamabad untuk coba-coba ke Libya.
Yang mengkhawatirkan, saat itu belum ada hubungan bilateral yang baik antara Tripoli dan JakartaLibya masih masuk daftar negara teroris dan di Tripoli tidak ada KBRIKBRI terdekat ialah di Tunis, TunisiaJadi, kalau ada apa-apa, saya harus bertanggung jawab sendiri.
Namun, berkat dukungan dan bantuan teman-teman KBRI Islamabad, saya mendapat visa ke Libya dari Dr Mahmud Sulaiman, kepala perwakilan Islamic Call Society, yakni organisasi dakwah Islamiyah yang didirikan Khadafi yang belakangan banyak bekerja sama dengan MuhammadiyahDr Din Syamsuddin, ketua PP Muhammadiyah, adalah salah satu wakil ketua organisasi tersebutTernyata, saat itu Islamic Call Society sedang menggelar konferensi di Tripoli dan ternyata juga mengundang dua tokoh dari Indonesia.
Kedua tokoh dari Indonesia ini adalah dosen senior Universitas Islam Indonesia (UII)Keduanya termasuk berani dan nekat jugaBelakangan saya tahu, sepulang dari Libya keduanya diinterogerasi pihak KoremSaya bertemu mereka di Bandara Karachi ketika akan naik pesawat Libyan Arab AirlinesSaya kenali keduanya karena mereka memakai batik dan peci hitam
Hanya kami bertiga orang Indonesia di pesawat Libya yang agak aneh tersebutPertama, tampak luar pesawat ini putih mulusTidak ada nama airlines sebagaimana lazimnya pesawat komersialKedua, setiap penumpang harus menaikkan sendiri bagasi ke tempatnyaKoper saya nyaris tertinggal karena saya tidak mengurusnyaUntung dari jendela pesawat saya lihat koper saya masih tergeletak di tarmac dan baru dimasukkan ke ruang bagasi ketika saya turun mengurusnya
Ketiga, tempat duduk tidak dibagi sesuai kelas dan boarding passJadi, mirip orang naik mikroletSiapa cepat dia dapat tempat yang disukainyaKeempat, pramugari yang menyajikan makanan membawa sajiannya mirip pelayan warung padang yang membagi makanan dalam kotak kardus
Bukan seperti lazimnya pesawat komersialKelima, tidak ada sepotong kata pun keterangan disampaikan dalam bahasa non-ArabUntung bahasa Arab teman seperjalanan saya yang dari Indonesia bagus, karena salah satu di antaranya lulusan Universitas Al Fatih, Tripoli
Dan, yang paling mengkhawatirkan saya ketika sudah terbang melintasi Teluk Persia, pesawat Libya ini mengalami kerusakan mesin dan ditolak mendarat di KuwaitAkhirnya kami harus turun di Amman, JordaniaUntung tidak terlalu fatal sehingga malam itu kami bisa meneruskan penerbangan sampai Tripoli.
Tiba di Tripoli sudah malam dan keadaan sangat gelapKami diinapkan di Hotel El BaharHotelnya bagus, tapi tidak terurusMaklum, Libya masih diboikot dunia, bahkan baru saja diserang dan dibom Amerika dan InggrisMaklum, saat itu yang berkuasa di London ialah Margaret Thatcher, wanita besi yang benci Khadafi
Di Gedung Putih yang berkuasa adalah Ronald Reagan yang menjuluki Khadafi, mad dog atau si anjing gilaRumah atau istana Khadafi di Bab Al Aziziya hancur lebur dihajar AmerikaBahkan, salah seorang anak perempuan Khadafi tewas dalam serangan tersebut.
Tidak mudah bergerak di Tripoli waktu ituPernah suatu saat saya memotret Jalan Omar al Mukhtar, jalan terpanjang di tengah Kota TripoliTidak lama kemudian seorang polisi mendatangi saya dan mau merampas kamera sayaUntung saya membawa kartu pengenal peserta konferensi sambil ngomong: Ana sahafy..Ana sahafy min Indunisy (Saya wartawan dari Indonesia)Akhirnya saya dilepas oleh polisi tadi
Memang, Libya sangat ketat mengawasi warganya dan wartawan, sehingga saat itu saya pun kalau mau mengirim berita ke Jawa Pos harus dalam bahasa InggrisAkhirnya, Pak Dahlan pun membebaskan saya untuk tidak mengirim laporan langsung karena toh harus lewat sensor LibyaBisa runyam urusannya.
Kesempatan saya bertemu Khadafi terjadi ketika ada pembukaan konferensi di Balai Rakyat LibyaKhadafi masih sangat populer sehingga sambutan luar biasa ramainyaTerus terang, tidak mudah mendekati diaUntungnya, saya jadi peserta konferensi, sehingga meski hanya beberapa menit, akhirnya niat saya jauh-jauh untuk minimal bersalaman dengan dia kesampaian juga
Tangannya sangat besar dan menggenggam erat tangan sayaDia mengangguk-angguk ketika saya bilang saya dari IndonesiaBahasa Inggris Khadafi bagus, sehingga saya asal ngomong saja dalam bahasa Inggris bahwa mayoritas masyarakat Indonesia (saat itu) mengagumi dia.
Kondisi yang lebih baik terjadi 17 tahun kemudian, ketika untuk kali kedua saya ke Libya pada pada 2003 sebagai anggota DPR/MPRSaat itu belum ada KBRI Tripoli, tetapi suasana sudah agak berbedaDi Jakarta sudah dibuka Kedubes Libya dan setelah reformasi, intel Indonesia juga tidak terlalu mempermasalahkan kepergian warga Indonesia ke Libya.
Keberangkatan saya yang kedua ini menyertai Ketua MPR Amien Rais yang melakukan kunjungan resmiSangat berbeda memang suasananyaPerjalanan saya dari Jakarta dengan Saudia Airlines dan dilanjutkan dengan Egypt Air sangat lancarDi Tripoli pun kami disambut sebagai tamu resmi dan ditempatkan di hotel yang sangat layak di tengah kotaJika waktu kunjungan pertama, suasana sangat tegang dan Kota Tripoli pun susah (banyak toko yang kosong), pada 2003 mulai normal.
Saya dan rombongan dari Indonesia diterima Kolonel Khadafi di istananya, Bab Al Aziziya, yang saat itu sudah dipugarKhadafi memakai baju khas Libya, warna cokelatSuaranya sangat besar dan berwibawaDalam perbincangan yang berlangsung hampir satu jam itu, dia banyak memuji kemajuan Indonesia dan sangat berharap kerja sama dua negara makin meningkat
Kali ini saya tidak perlu berdesak-desakan untuk bersalaman dengan diaMalah saya sempat berfoto bersama yang dijepret oleh fotografer istana KhadafiSaya memakai jas resmi, tidak baju batik seperti sewaktu sebagai wartawanSayangnya, sampai sekarang saya tidak pernah menerima foto tersebut.
Yang sama waktu itu adalah kekuasaannyaKetika kami mau pulang, beberapa acara sempat molor sehingga saya sempat khawatir bahwa kami akan ketinggalan pesawat Egypt Air yang membawa kami sampai di SingapuraMengetahui hal ini, Mahmud, staf khusus Khadafi yang menyertai kami, menjawab enteng: Kalau perlu, pesawatnya kami tahan agar tidak berangkat untuk menunggu tuan-tuanInilah kekuasaan luar biasa rezim Khadafi yang bisa berbuat apa saja di negerinyaKekuasaan ini pulalah yang tampaknya akan meruntuhkannya(c2/el)
*) Djoko Susilo, mantan wartawan Jawa Pos yang kini Dubes RI di Bern, Swiss.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Demonstran Bakar Istana Kadhafi
Redaktur : Tim Redaksi