jpnn.com, JAKARTA - Wacana revisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh Presiden Joko Widodo disambut baik berbagai kalangan.
Hal ini karena pasal-pasal karet dalam UU ITE seringkali disalahgunakan sebagai alat pemukul politik bagi mereka yang kritis dan dinilai berseberangan dengan pemerintah.
Revisi ini diperlukan karena semangat awal UU ITE guna menjaga ruang digital Indonesia sehat dan produktif dan bukannya menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat.
Akademisi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Dr. Teuku Syahrul Ansari menyatakan UU ITE selama ini telah salah ditafsirkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan penguasa guna memukul lawan politiknya. Hal ini disayangkan karena UU ini telah melenceng dari awal kelahirannya.
BACA JUGA: Jokowi Minta UU ITE Direvisi, PKS: Setuju
"Jadi saya melihat UU ITE ini secara salah ditafsirkan. Ada pemikiran yang sesat memanfaatkan UU ini sebagai pemukul lawan politik. Ini yang sangat kita sayangkan," katanya dalam kanal YouTube Bravos Indonesia, Selasa (16/2).
UU ITE sesuai dengan namanya, untuk memberikan rasa aman masyarakat ketika bertransaksi secara elektronik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata 'transaksi' itu terkait masalah aktivitas jual beli dalam ekonomi.
BACA JUGA: Reaksi Mahfud Soal Wacana Revisi UU ITE, Simak Penjelasannya
"Pertama kali saya ingatkan UU ITE ini berawal dari kata-kata transaksi, dalam kamus besar bahasa Indonesia itu terkait jual beli. Jadi UU ITE itu untuk melindungi kepentingan masyarakat atau lebih difokuskan pada kegiatan perdagangan barang dan jasa," tambahnya.
Dijelaskannya, terkait dengan Pasal 27 UU ITE - yang selama ini seringkali dipakai untuk menjerat seseorang, disebutkan bahwa tidak boleh melakukan pencemaran nama baik dan lainnya. Namun, lanjutnya, kalau UU itu dibaca secara holistik walaupun ada kata-kata "informasi", hal ini berkenaan dengan transaksi elektronik sejalan dengan namanya Informasi dan transaksi elektronik.
"Jadi membacanya itu harus komprehensif dan sesuai dengan maksud dan tujuannya dari pasal-pasal itu," ujarnya.
Dia melanjutkan, jika melihat pada konsideran undang-undang ini adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat di bidang ekonomi seiring majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Terutama komputer dan media elektronik sehingga mereka diproteksi dalam kegiatan atau bertransaksi.
Namun, entah kapan secara tiba-tiba pasal-pasal dalam UU ITE ini dijadikan alat pemukul bagi mereka yang berseberangan secara politik. Padahal UU ITE ini bersifat administratif.
"Entah kapan tiba-tiba ini menjadi pasal-pasal tindak pidana politik padahal kalau kita mengutip Prof Andi Hamzah dari keterangan beliau di media atau di bukunya, UU ITE ini bersifat administratif," pungkas chairman Bening Institute ini. (esy/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad