jpnn.com, JAKARTA - Peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mengatakan para kandidat peserta Pilpres 2024 yang kalah versi quick count berbagai lembaga survei dan data sementara real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menunjukkan sikap kedewasaannya dalam berdemokrasi dengan semboyan siap menang dan kalah.
Menurut Surokim, Anies dan Ganjar perlu belajar kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam membangun budaya politik yang santun dan saling menghormati.
BACA JUGA: Pakar Mendukung Rencana Prabowo Setop Impor BBM dan Mengganti dengan Energi Terbarukan
Meskipun rivalitas di Pilpres antara Jokowi dan Prabowo sangat keras pada 2014 dan 2019.
Namun, kedua tokoh tersebut mampu memberikan contoh bagaimana berpolitik dengan baik.
BACA JUGA: Istana Bahas Makan Siang Gratis Prabowo, Timnas AMIN Curiga Ada Sesuatu
Ketika harus berkompetisi dilakukan dengan serius, tetapi saat sudah seusai Pilpres maka bersatu untuk kemajuan bangsa.
“Dibutuhkan kedewasaan. Diperlukan sikap yang lebih negarawan apalagi kalau kita mengacu bagaimana pengalaman-pengalaman sebelumnya seperti Pak Prabowo itu juga sempat kalah berkali-kali di dalam Pilpres dan semestinya itu juga bisa dijadikan sebagai contoh,” kata Surokim, Sabtu (2/2/2024).
BACA JUGA: Anies-Cak Imin Kompak Ucapkan Selamat kepada Prabowo yang Dianugerahi Jenderal Kehormatan
Menurut Surokim, pemenang Pilpres 2024 tinggal menunggu pengumuman secara formal oleh KPU.
Sebab berdasarkan hasil quick count dan real count sementara KPU menunjukkan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka unggul telak dari dua pesaingnya.
Jarak perolehan suara yang cukup jauh antara Prabowo – Gibran dan dua kompetitornya sudah mustahil untuk dikejar.
Oleh karena itu, Surokim mendorong pihak yang kalah untuk mengakui kekalahannya dan segera melakukan rekonsiliasi nasional.
“Semua kan masih beralasan untuk menunggu real count, tapi quick count itu kan diselenggarakan oleh lembaga yang tidak hanya satu dua lembaga tetapi juga oleh banyak lembaga yang mempunyai reputasi selama ini dalam menghitung pemilu,” ujar Surokim.
“Jarak yang tersisa antara dua paslon juga cukup jauh, jadi agak sulit menurut saya mungkin kalau jaraknya tipis gitu tidak ada masalah ini jaraknya terlalu jauh. Jadi, harus ada kesadaran memang tidak mudah untuk menerima kekalahan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Surokim mengatakan energi yang ada dari paslon yang kalah lebih baik digunakan untuk disiapkan dalam menghadapi pemilu berikutnya bisa bersikap ikut gabung koalisi pemenang atau menyatakan sikap sebagai oposisi.
“Dari pada harus dihambur-hamburkan energi untuk melakukan tuduhan atau berbagai macam alasan atas kekalahannya, saya pikir posisi menjadi oposisi itu juga tidak kalah terhormatnya, akan lebih bijak kalau disiapkan untuk menjadi oposisi atau menjalankan fungsi oposisi terhadap pemerintah terpilih misalnya,” paparnya.
Surokim menilai upaya kubu rival Prabowo melemparkan wacana kecurangan pemilu terhadap penyelenggara pemilu dengan menggulirkan hak angket menunjukkan sikap yang tidak mau menerima kekalahan, jika hal itu diteruskan sama saja melawan kehendak atau logika mayoritas masyarakat yang sudah menggunakan hak pilihnya.
“Melihat jarak yang lebar seperti itu saya kira cukup sulit untuk membangun narasi kecurangan dilakukan secara terstruktur sistematis dan masif (TSM), rasa-rasanya cukup sulit terlalu lebar jaraknya. Artinya harus melawan logika publik pemilih yang mayoritas,” tegas Surokim.
“Namun, sepanjang itu tidak TSM, saya kira publik masih bisa memahami dan kalaupun toh yang sekarang sedang dibangun narasi kecurangan seperti itu saya kira harus mengingat logika publik juga bahwa pemilu ini melibatkan banyak pemilih,” sambungnya.
Dia menjelaskan Surokim rekonsiliasi nasional harus segera dilakukan oleh para elite agar masyarakat di bawah mengikutinya. Hal ini penting agar tidak terjadi kegaduhan dan munculnya kembali polarisasi.
Rekonsiliasi itu dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi politik secara intens demi mengurangi gesekan serta tensi politik lebih mereda.
“Perlu komunikasi politik lagi supaya bisa mengurangi tensi gesekan yang tidak perlu. Kami punya sejarah panjang terkait dengan rekonsiliasi dan polarisasi, di pendukung juga enggak bisa dinisbikan. Jadi, bisa dimulai dari rekonsiliasi di tingkat elite dahulu baru kemudian nanti bisa bergeser ke bawah,” paparnya.
Dia mengatakan kalau mengandalkan rekonsiliasi itu dimulai dari bawah, agak cukup sulit kalau rekonsiliasi itu bisa dicairkan melalui pertemuan-pertemuan elite lebih intens.
“Saya kira akan jauh lebih elegan minimal bisa menjadi contoh dan meredam munculnya hoaks-hoaks yang terus menerus cukup intens mengganggu proses demokrasi,” ujar Surokim.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari