jpnn.com - PALU - Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Sulawesi Tengah, Sahran Raden angkat suara menyusul dilaporkannya komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tengah, KPU Palu dan KPU Morowali ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait Pilkada 2024.
Para penyelenggara tersebut dilaporkan terkait dugaan pelanggaran administrasi dalam penetapan pasangan calon kepala daerah untuk Pilkada Serentak 2024.
BACA JUGA: Pesan Tegas AKBP Fahrian untuk Pilkada 2024 yang Damai dan Sejuk di Inhu
Sahran menilai dalam hal ini Bawaslu Sulteng, Palu dan Morowali berhati-hati dan bertindak profesional sesuai aturan yang ada menyikapi laporan pelanggaran administrasi Pilkada Serentak 2024.
"Sebaiknya Bawaslu provinsi, kabupaten dan kota untuk berhati-hati melalukan pengkajian sesuai dengan norma dan peristiwa hukum yang terjadi," ujar Sahran dalam keterangannya, Jumat (4/10).
BACA JUGA: DPRD Kota Bogor Tekankan Pentingnya Netralitas ASN dan Pengawasan Pilkada 2024
Menurut Sahran substansi dari ketiga laporan itu yakni KPU setempat telah meloloskan pasangan calon petahana yang melakukan mutasi atau penggantian pejabat enam bulan sebelum penetapan pasangan calon oleh KPU.
Tindakan itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
BACA JUGA: Netralitas Kades Pada Pilkada 2024 Penting Diingatkan Sejak Dini
Pada Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada mengatur kepala daerah tidak boleh mengganti pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatannya, kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri.
"Meskipun dilarang, tetapi ada pengecualian tindakan itu, melalui satu mekanisme persetujuan tertulis dari menteri," kata Sahran.
Dia menjelaskan yang disebut mutasi adalah menukar pejabat satu dengan pejabat lain, di mana salah satu alasannya menghindari adanya konflik kepentingan.
"Namun, akan dilihat, apakah satu jabatan itu sebatas mutasi atau pengisian. Kalau pengisian karena jabatan kosong, karena wajib diisi, kalau tidak akan mengganggu pemerintahan di daerah, itu juga harus menjadi pertimbangan," kata Sahran.
Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulteng itu menjelaskan dalam hukum dikenal dengan azaz fiksi.
Yakni, setiap undang-undang yang telah diundangkan dianggap diketahui oleh masyarakat sehingga ketidaktahuan hukum tidak dapat menjadi alasan membebaskan atau memaafkan seseorang dari tuntutan hukum.
"Meskipun tidak membaca undang-undang itu karena berlaku asas fiksi dan melakukan suatu perbuatan maka dianggap sudah tahu," katanya menegaskan. (Antara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bawaslu Ingatkan Paslon Ini Segera Hentikan Kegiatan Tebus Murah Sembako
Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang