Pengamat Maritim Ini Soroti Nasib Nelayan Indonesia di Tengah Kebijakan KKP

Minggu, 31 Juli 2022 – 22:26 WIB
Pengamat Maritim yang juga Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI) Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Indonesia mempunyai wilayah perairan yang sangat luas, yaitu sekitar 6.4 juta kilometeri persegi dan mencakup 70 persen dari wilayah keseluruhan negara Indonesia.

Sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia pun berlimpah antara lain, perikanan tangkap dan perikanan budi daya.

BACA JUGA: Mendengar Keluhan Nelayan, Ganjar Langsung ke TPI Tegal Katilayu

Namun, kekayaan sumber daya kelautan yang melimpah itu, belum sepenuhnya mengangkat nasib nelayan Indonesia. 

Pengamat Maritim yang juga Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI) Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan ada beberapa masalah yang dihadapi nelayan Indonesia. Salah satu hal yang sering dikeluhkan para nelayan adalah persoalan ketersediaan bahan bakar solar subsidi.

BACA JUGA: BMKG Ingin Sekolah Lapang Cuaca Nelayan Percepat Pembangunan Ekonomi Kelautan

“Patut diduga masih ada pemanfaatan solar oleh pihak yang seharusnya tidak berhak,” Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa dalam keterangan tertuslis diterima di Jakarta, Minggu  (31/7/2022).

Wasekjen Bidang Maritim Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ini menjelaskan di samping ketersediaan solar subsidi, disparitas harga solar subsidi dan nonsubsidi pun ikut memengaruhi nelayan untuk pergi melaut mencari ikan.

BACA JUGA: Ratusan Kapal Nelayan Parkir, Tak Melaut, Ada Masalah soal BBM?

“Lonjakan harga dari Rp 8.000 menjadi Rp 18.000 ikut memengaruhi perhitungan biaya melaut para nelayan,” ujar Capt. Hakeng. 

Ketersediaan dan harga solar yang melambung menurut Capt. Hakeng, sebetulnya tidaklah juga menjadi kendala utama para nelayan untuk tidak melaut.

Namun, ada hal lain, yakni penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 85/2021 yang ditenggarai menjadi biang keladinya. 

Menurut Capt. Hakeng, peraturan tersebut dinilai memberatkan nelayan. Sebab ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan menjadi sekitar 5-10 persen dirasa sangat memberatkan.

Padahal, aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1 persen.

Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Dan di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60GT dikenakan tarif 5 persen untuk PNBP.

“Akibat dari peraturan itu, patut saya duga telah menyebabkan nelayan enggan melaporkan hasil tangkapan karena merasa terbebani. Situasi itu tentu berdampak pada ketidakakuratan pengumpulan data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah,” kata Capt. Hakeng.

Hal lain yang menjadi perhatian Capt. Hakeng pula adalah rencana dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil.

Penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Artinya nelayan kecil justru akan bersaing dengan perusahaan kapal besar dalam hal penangkapan ikan jika diterapkan.

"Perlu diingatkan untuk rencana kuota ini dikhawatirkan tidak dapat berjalan untuk nelayan kecil.  Sebab sistem kelembagaan nelayan kecil atau tradisional belumlah memiliki modal yang kuat serta tidak memiliki ketersediaan kapal-kapal yang sesuai dengan kontraknya," kata Capt. Hakeng.

Oleh sebab itu, kata dia, tidak ada salahnya KKP memberikan alternatif cara pembiayaan usaha perikanan tangkap yang mudah untuk diakses kepada nelayan kecil di Indonesia.

“Lakukan pengumpulan data kapal ikan berukuran kecil dan berikan kemudahan untuk mendapatkan kredit dengan skema Kredit Usaha Rakyat bagi nelayan kecil," imbuhnya.

Hambatan lain yang dihadapi nelayan untuk penangkapan ikan adalah mengenai retribusi atau pungutan izin daerah dalam pengurusan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut (SIKPI).

"Akibat dari pungutan yang ada dalam pembuatan dokumen tersebut, nelayan menjadi terbebani dengan tambahan biaya nonoperasional yang bertambah. Selain itu persoalan lokasi pendaftaran dokumen SIPI dan SIKPI yang tidak berdekatan dengan lokasi tempat tinggal nelayan juga menjadi masalah,” ujar Capt. Hakeng.

Dia mengatakan untuk mendapatkan surat-surat tersebut terkadang tidak dapat selesai dalam satu hari saja.

Menurut dia, hal itu ikut menghabiskan waktu yang dimiliki oleh para nelayan yang seharusnya bisa dimaksimalkan untuk menangkap ikan.

“Dampaknya banyak kapal nelayan kecil yang memilih tidak mendaftarkan kapalnya. Mereka melaut tanpa ada kelengkapan surat-surat tersebut,” kata dia. 

Untuk mengatasi masalah tersebut, Capt. Hakeng menyarankan agar prosedur pengurusan dokumen nelayan untuk penangkapan ikan perlu dipermudah. Lokasi layanan untuk pengurusan dokumen juga sebaiknya berada sedekat mungkin dengan pemukiman nelayan. 

“Begitu pula dengan akses lokasi pengisian BBM yang patutnya berada dekat dengan lokasi kapal-kapal nelayan tersebut ditambatkan,” kata Capt. Hakeng.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler