jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah klausul dalam aturan dan rancangan aturan energi baru terbarukan (EBT) dinilai tidak adil bagi masyarakat dan PLN.
Pemerintah perlu memastikan setiap investor kelistrikan ikut menanggung risiko usaha dan jangan ditimpakan ke negara melalui PLN saja.
BACA JUGA: Di Kamar Hotel Om Yohanes Mabuk Berat Bersama Olivia dan Amelia, Tak Lama Seila Datang, Terjadilah
Direktur Eksekutif Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan fenomena menimpakan risiko usaha kelistrikan pada negara tercermin dari kebijakan take or pay.
Dalam mekanisme itu, negara melalui PLN harus membayar penyedia listrik swasta (IPP) sesuai kontrak meski dayanya tidak terpakai.
BACA JUGA: Sontoloyo, Karyawan BUMN Ternama Sebar Video Hoaks Pasar Rusuh Akibat PPKM
“Investor itu menjadi seolah-olah tidak ikut menanggung potensi kerugian. Padahal bisnis kan ada untung, ada rugi,” kata Marwan dalam keterangannya, Kamis (22/7).
Mekanisme ToP memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN, untung atau rugi harus ditanggung. Karena itu, mekanisme tersebut tidak bisa diterima.
BACA JUGA: Uang Dana Desa Rp 300 Juta yang Dirampok Tersisa Rp 7,5 Juta
“Kalau PLN bermasalah bisa bangkrut, dikuasai asing atau swasta. Bagi pelanggan itu bisa listrik bisa mahal, kalaupun PLN tidak bangkrut maka PLN harus menaikkan biaya pokok tarif,” katanya.
Sayangnya, kata dia, mekanisme itu sudah berlaku dalam penyediaan listrik oleh PLTU dari IPP. Dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (EBT) yang tengah dibahas di DPR, mekanisme sejenis akan diterapkan.
Dalam RUU itu ditetapkan, PLN wajib membeli berapa pun daya yang disediakan IPP EBT swasta. Kewajiban itu tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak.
Marwan mengingatkan sekarang PLN sedang kelebihan daya. Dampak berat ToP paling terasa paling tidak sejak 2019.
Konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi semakin turun. Sekarang cadangan daya sudah di atas 35 persen dari idealnya 30 persen.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan, listrik yang dihasilkan oleh EBT ini harganya masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan oleh batu bara. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri baik bagi Pemerintah maupun bagi masyarakat.
Terkait EBT, hal lain yang disoroti Marwan adalah upaya mengubah klausul di Peraturan Menteri ESDM nomor 49 tahun 2018 khususnya terkait biaya ekspor energi PLTS IPP mikro ke PLN.
Dalam permen itu ditetapkan, nilai transaksi ekspor 1:0,65 di mana 1 untuk harga listrik PLN dan 0,65 untuk komponen biaya PLTS IPP mikro.
Sejumlah pihak, dengan alasan mendorong percepatan pengembalian investasi, meminta ketentuan diubah menjadi 1:1.
“Kalau seperti itu (porsi 1:1) jadinya orang tidak punya PLTS menyubsidi orang yang punya PLTS. Tidak adil. Kalau membangun energi bersih, jangan dipakai untuk mencari keuntungan. Apakah gardu listrik, (jaringan) transmisi PLN tidak dihargai? Masa (aset) PLN hanya numpang lewat saja,” kata dia.
Marwan mengingatkan upaya mengubah klausul dalam Permen ESDM 49/2018 hanyalah demi kepentingan bisnis. Upaya itu tidak didorong keinginan pelestarian lingkungan. Upaya itu juga bisa menekan usaha memeratakan penyediaan kelistrikan.
Terpisah, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengaku prihatin dengan sejumlah klausul dalam RUU EBT dan aneka aturan lain soal EBT.
Dengan aturan sekarang dan nanti ditambah RUU EBT, subsidi bisa bertambah sampai Rp 1,5 triliun untuk setiap 1 GW PLTS IPP yang dimasukkan ke sistem.
“Hal ini disebabkan dengan kewajiban PLN membeli energi listrik dari PV Rooftop maka akan menaikan biaya pokok produksi sebesar Rp7/kwh dan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kapasitas PV Rooftop ini,” tuturnya.
Kenaikan BPP otomatis akan meningkatkan subsidi dan kompensasi. Jika tarif untuk pelanggan subsidi, maka pemerintah akan mensubsidi tarif listrik tersebut.
Untuk pelanggan yang non-subsidi tetapi tidak ada tarif adjustment, maka pemerintah harus memberikan dana kompensasi kepada PLN. Jika dinaikan maka akan memberatkan bagi masyarakat.
Padahal, kata dia, kondisi saat ini pelanggan yang disubsidi hanya 25 persen dan yang non-subsidi sebanyak 75 persen dari total pelanggan PLN.
“Hal ini akan sangat memberatkan bagi PLN maupun pemerintah,” kata dia.
Dalam Peraturan Menteri ESDM No 49/2018 tentang skema transaksi PLTS Atap ada aturan nilai transaksi ekspor energi dari PLTS atap pelanggan ke PLN akan dinaikkan menjadi 100 persen dari sebelumnya 65 persen.
“Aturan itu tidak adil bagi BUMN yang berpuluh tahun ditugasi negara menyediakan layanan kelistrikan. Listrik PLTS intermittent atau tidak bisa terus menerus sehingga harus disediakan cadangan oleh PLN. PLN juga sudah dan harus terus membangun dan merawat jaringan transmisi dan distribusi. Hal yang tidak dilakukan pemilik PLTS. Tidak adil kalau nilai transaksinya 1:1,” tuturnya seraya menekankan pentingnya mempertimbangkan faktor pembangunan dan perawatan jaringan distribusi dan transmisi serta sarana penunjang layanan kelistrikan lainnya. (dkk/jpnn)
Redaktur & Reporter : Muhammad Amjad