jpnn.com - JAKARTA -- Sekretaris Pusat Kajian Trisakti Fahmi Habsyi menegaskan, kritikan yang ditujukan publik kepada Presiden Joko Widodo harus dianggap sebagai bentuk rasa sayang masyarakat kepada Jokowi-Jusuf Kalla yang baru sebulan menjalankan pemerintahan. Karena tingginya ekspektasi publik kepada Jokowi, makanya tak heran bila publik menuntut komitmen pemerintah untuk bekerja dan kebijkan yang ditelorkan berpihak kepada rakyat.
"Itu bentuk sayang publik, bukan kekecewaan," kata Fahmi, Senin (24/11).
BACA JUGA: Pimpinan Baru Pemuda Muhammadiyah Fokus ke Gerakan Dakwah dan Sosial
Seperti diketahui hasil survei Lingkaran Survei Indonesia Denny JA, meyebutkan bahwa kepuasan publik terhadap Jokowi-JK merosot hingga di bawah 50 persen ketika keduanya belum genap 100 hari menjalankan roda pemerintahan.
Fahmi menyatakan, bentuk kritikan kepada keputusan Jokowi memang banyak yang jauh dari ekspektasi publik. Misalnya soal pembentukan kabinet yang menyisakan jejak abu-abu, komitmen pemberantasan mafia minyak yang tak jelas dan pembubaran Petral. Kemudian, komitmen penegakan hukum seperti penunjukan politisi partisan menjadi Jaksa Agung yang tercermin pada hasil survei LSI Denny JA.
BACA JUGA: KMP Rumuskan Penggunaan Hak Interpelasi Siang Ini
Menurut Fahmi, wajar saja Jokowi dikritik, seperti soal kenaikan harga BBM. Sebab, kebijakan menaikkan BBM sejak awal tak diikuiti dengan menyamakan eksepektasi publik soal pembentukan kabinet yang "clean and clear".
"Jadi saat butuh dukungan publik, pers dan civil society dalam kebijakan yang tak populis, publik sudah skeptis dulu," katanya.
BACA JUGA: Baru 13 Menteri yang Laporkan Kekayaan ke KPK
Dia menyatakan kepercayaan diri berlebihan Jokowi ternyata berbeda dengan ekspektasi publik. Sebab, ia menjelaskan, patokan publik adalah kabinet Jokowi harus lebih baik integritasnya maupun komitmen kerakyatannya dari kabinet pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono sebelumnya. "ATM politik sebelum pilpres lumayan kedebet setelah pengumuman kabinet," katanya.
Namun demikian, Fahmi memahami kondisi tersebut sebagai bagian yang pernah ditugaskan dalam tim kecil yang dibentuk di luar tim resmi yang khusus langsung di bawah pemantaun Jokowi untuk mengantisipasi kecurangan pilpres satu bulan sebelum pilpres.
Menurutnya, curhatan Jokowi sebelum berangkat umroh ketika kepercayaan dirinya yang tinggi di awal-awal pencapresan melihat realita dukungan publik di lapangan ternyata berbeda dengan realita sistem pemilu yang amburadul dan carut-marut.
"Beliau baru sadar sebelum terlambat dan saat itu survei Jokowi-JK pada titik kritis selisih 2 persen. Sehari Pak Jokowi bisa menghubungi tim tiap hari lima hingga tujuh kali untuk meringankan kegelisahannya," paparnya.
Karenanya, ia mengingatkan, publik harus memaklumi bahwa Jokowi baru memasuki dunia politik nasional ini sehingga beliau belum mempunyai refrensi yang banyak orang-orang yang tepat untuk membantunya. Jadi, tegasnya, publik berhak mengingatkan agar menteri-menteri yang saat ini harus lebih militan mewujudkan janji-janji Jokowi-JK
"Mayoritas anggota kabinet yang 'ketiban pulung' saat ini kan mereka tidak merasakan langsung sejarah suasana kebatinan, kegalauan dan 'berdarah-darahnya' Pak Jokowi-JK. Nanti pas tersadar lagi dan kecewa jika menteri "main-main" pasti dievaluasi. Ada gak benar sikat aja," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Yuddy Disebut tak Paham Masalah Honorer K2
Redaktur : Tim Redaksi