jpnn.com - JAKARTA - Rencana PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk membuat Stasiun Pengisian Bahan Bakar Terintegrasi (SPBT) untuk menyalurkan minyak dan gas dinilai sangat tidak etis. Karena untuk memenuhi rencana tersebut, PGN akan menggandeng sejumlah SPBU yang ada di Jakarta dan yang dekat dengan pipa gas PGN. Caranya, di setiap SPBU nantinya direncanakan dibangun satu atau dua dispenser tempat pengisian gas.
"Memanfaatkan SPBU swasta yang didirikan atas dasar kerja sama dengan Pertamina, sangat tidak etis dan terkesan strategi bisnis yang tidak mulia serta dapat dimaklumi publik sebagai cara yang tidak sehat," ujar Pengamat Kebijakan Energi, Sofyano Zakaria, Sabtu (6/12).
BACA JUGA: Mantan Menkeu Sebut Kebijakan Ekonomi Jokowi Salah Kaprah
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) ini mendasari penilaiannya, apalagi mengingat PGN bukan lagi BUMN murni milik pemerintah. Kepemilikan saham PGN di bursa saham 43,04 persen berada di tangan masyarakat dan 56,96 persen dikuasai pemerintah.
"Dari 43,04 persen saham masyarakat tersebut, 82 persennya dimiliki pihak asing dan sisanya 18 persen diduga dominan pula dimiliki elit masyarakat tertentu," ujarnya.
BACA JUGA: Pasar Mobil SUV Masih Tumbuh
Demikian juga saham di anak perusahaan PGN bidang transmisi, PT Transportasi Gas Indonesia, 40 persen dimiliki pihak Transasia Pipeline Company Pvt Ltd. Perusahaan asing ini merupakan gabungan dari ConocoPhillip, Petrona, SPC Singapura dan Talisman Energy.
"Jadi pemerintah dalam hal ini Menteri BUMN harus tegas menyikapi dengan menolak rencana PGN tersebut. Mengingat pemerintah bukan pemilik tunggal PGN, apalagi dominasi asing sangat besar," katanya.
BACA JUGA: Lagi, 16 Gerbong KRL Bekas Diditangkan dari Jepang
Menurut Sofyano, jika alasan PGN menggandeng SPBU-SPBU guna memercepat program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke gas, BUMN Pertamina yang seratus persen sahamnya dimiliki pemerintah, pasti sanggup melaksanakan pembangunan SPBT tersebut.
"Bahkan, konon kabarnya Pertamina juga telah menyiapkan membangun 150 SPBG yang menumpang di SPBU (sama seperti SPBT)," katanya.
Selain itu kata Sofyano, Pertamina juga telah memiliki kontrak kerja sama jangka panjang dengan pemilik SPBU. Ini akan lebih mudah bagi Pertamina merealisasikan pembangunan SPBT tersebut.
"Secara hukum tentunya kerja sama yang dilakukan pemilik SPBU dengan pihak ketiga harus berdasarkan persetujuan Pertamina," katanya.
Sofyano melihat, PGN kemungkinan akan memanfaatkan keberadaan Menteri BUMN dan Menteri ESDM untuk 'menekan' Pertamina guna menyetujui hal tersebut dengan alasan percepatan program konversi BBM ke gas. Dukungan terhadap PGN bisa dianggap cara mengerdilkan keberadaan dan peran Pertamina yang pada akhirnya bisa pula terjadi saham Pertamina atau anak perusahaan Pertamina, akan dijual ke pihak asing.
"Pihak asing itu bisa saja akan berupaya keras memengaruhi pemerintah dan pembuat kebijakan lainnya untuk menggerogoti bisnis gas Pertamina hingga beralih ke pihak mereka," katanya.
Sebagai gambaran, revenue Pertamina sekarang, kata Sofyano, 52 persen dihasilkan dari gas, dan memberikan kontribusi profit hampir Rp 8 triliun.
"Kalau ini hilang, maka pertamina pasti langsung keluar dari Fortune Global 500 dan bubarlah mimpi Pemerintahan Jokowi yang ingin menjadikan Pertamina sebagai perusahaan energi kelas dunia," katanya.
Sofyano menilai, pemerintah perlu segera menugaskan Pertamina melaksanakan percepatan program konversi BBM ke gas dengan memperbanyak pembangunan SPBT atau SPBG pada SPBU Pertamina.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sonangol Ternyata Kongsi Lama Surya Paloh?
Redaktur : Tim Redaksi