jpnn.com - JAKARTA - Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI), Muhammad Budyatna menilai, pemilu presiden (pilpres) kali ini sudah diboncengi oleh para pensiunan jenderal TNI dan Polri.
Dengan menambah dan memperkuat jaringannya, para pensiunan TNI dan Polri itu mendukung pasangan capres-cawapres, untuk memegang kendali kekuasaan.
BACA JUGA: Kubu Jokowi-JK Dituntut Minta Maaf Kepada Babinsa
“Dalam Pilpres kali ini TNI dan Polri terpecah karena ulah para 'bintang' yang sudah pensiun. Mereka memanfaatkan jaringan dan institusi TNI untuk digunakan mempertahankan kekuasaan mereka sendiri melalui pasangan capres dan cawapres yang bertarung dalam pemilu 2014 ini," kata Budyatna kepada, di Jakarta, Senin (9/6).
Pelaksanaan dwi fungsi ABRI selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto lanjut Budyatna, belum bisa dihapuskan. Ini karena para purnawirawan yang perang saat ini semuanya adalah anak didik Soeharto.
BACA JUGA: Usai Dilantik, Lukman Ingin Segera ke KPK
"Semua yang perang ini mantan anak buah Soeharto. Mereka merasakan nikmatnya dwi fungsi ABRI dan belum rela melepaskan itu dan saat ini ingin mengembalikan dwi fungsi," tegasnya.
Menurut Budyatna, permainan institusi TNI bisa dilihat dan dibuktikan ketika SBY menegaskan hal itu. Ditambah juga dimainkannya peran babinsa, intelejen baik di TNI maupun Polri.
BACA JUGA: Tim Prabowo Tuding Polisi Sudah Ikut Kegiatan Politik
"Ini ada perang intelejen dan ada kontra intelejen. Semua yang dibuka ke publik belakangan ini adalah data-data dan permainan intelejen," ungkapnya.
Seorang kopral atau kapten yang dituduh berperan aktif itu kata Budyatna, hanya korban dari permainan yang sedang berlangsung.
"Kopral sama kapten dikorbankan, mereka tidak mungkin berani bertindak kalau tidak ada atasan. Tidak ada cerita dalam tentara, seorang kopral sama kapten bertindak tanpa perintah atasan," jelasnya.
Dikatakannya, tentara di Indonesia berbeda dengan di negara lain. Di negara lain utamanya yang sudah maju, apapun tindakan bawahan menjadi tanggungjawab atasan.
Di Indonesia, atasan yang bermain, tapi bawahan yang harus berkorban. Lihat saja di Korea Selatan, presidennya mundur hanya karena ulah perusahaan pelayaran.
"Di Indonesia tidak akan mungkin kita bisa berharap, seorang jenderal mau mundur karena kesalahan bawahan," pungkas Guru Besar Politik itu.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menhub Dalami Dugaan Suap di Kemhub Era Hatta Rajasa
Redaktur : Tim Redaksi