Pemilihan Umum yang akan digelar di Indonesia pada 17 April mendatang disebut-sebut sebagai salah satu pemilu paling kompleks di dunia.
Hanya dalam sehari, lebih dari 190 juta penduduk Indonesia â hampir setengahnya adalah generasi millennial akan memilih presiden dan wakilnya, DPD, DPR dan DPRD yang diperebutkan oleh lebih dari 245 ribu kandidat.
BACA JUGA: Menara Bandara Sydney Dievakuasi , Penerbangan Sempat Dihentikan Sementara
Dari sekian banyak kandidat, sudahkah Anda memutuskan siapa yang dianggap paling mewakili suara Anda di Senayan nanti?
Seorang pengamat politik ternama di Indonesia pun belum tahu jawabannya dan menyebut pemilu kali ini sebagai sebuah 'mind-boggling exercise' (kegiatan yang melibatkan begitu banyak aspek yang harus dipertimbangkan).
BACA JUGA: Minta Prostitusi Dilegalkan, Pekerja Seks Australia Temui Parlemen
"Jika ingin memilih partai yang tidak terlibat korupsi, atau tidak pernah terlibat dalam aksi intoleran, atau melanggar hak asasi, maka tidak banyak pilihannya," ujar Dewi Fortuna Anwar di National Gallery of Victoria, Melbourne, Kamis sore (28/03/2019).
"Saya sudah memutuskan paasangan calon presiden mana yang saya akan pilih. Namun terus terang sampai saat ini saya belum tahu partai mana yang akan saya pilih.' kata Dewi lagi.
BACA JUGA: Enam Bulan Gempa Palu, Krisis Belum Juga Berlalu
Photo: Dewi Fortuna bersama Ben Bland, moderator, sekaligus Direktur Proyek Asia Tenggara dan peneliti di Lowy Institute. (Foto: Erwin Renaldi, ABC News)
Dewi sedang berada di Australia untuk menjadi pembicara di acara yang digelar Lowy Institute untuk menjelaskan perkembangan jelang pemilu dan sistem demokrasi Indonesia.
Acara tersebut digelar di Sydney, Canberra, dan Melbourne.
Menurut peneliti dan pengamat politik dari LIPI tersebut, pemilu yang pertama kalinya digelar secara simultan ini lebih terfokus pada pemilihan presiden, sehingga ruang yang diberikan kepada warga untuk mengenal caleg dan partai menjadi terbatas.
"Sebelumnya, warga memilih caleg terlebih dahulu dan setelah caleg terpilih dan mengamankan kursinya, merekalah yang kemudian menominasikan kandidat presiden."
"Tetapi ini membuat kandidat presiden menjadi sandera karena ketergantungan penuh dengan suara partai," jelas Dewi saat ditanya mengapa pemilu di Indonesia dilakukan secara serentak, selain karena alasan efisiensi biaya. Photo: Kebanyakan calon legislatif di Indonesia tidak memaparkan program apa yang ditawarkan kepada daerah pemilihannya. (ABC News: Max Walden)
Dalam pemaparannya yang dimoderatori oleh Ben Bland, Direktur Proyek Asia Tenggara di Lowy Institute, Dewi mengatakan isu-isu yang dihadapi warga sehari-hari bukanlah menjadi hal yang terlalu penting bagi kandidat pemilihan umum di Indonesia.
"Pemilu selama ini lebih ke soal sosok dan kepribadian calon, kita nyaris tak pernah mendengar strategi berbeda [dari kandidat] untuk mencapai tujuan tertentu."Hubungan dengan Australia Photo: Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Simon Birmingham (kiri) dan Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita (kanan) dalam acara penandatanganan IA-CEPA di Jakarta (4/03/2019). (Foto: ABC News, Nurina Savitri)
Membahas soal hubungan luar negeri, dalam pengamatan Dewi, Indonesia, seperti kebanyakan di negara-negara lainnya tentu senang dengan investasi luar negeri.
Tetapi saat berkampanye, baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto sama-sama tidak terlalu ingin menunjukkan keberpihakannya kepada asing.
"Masing-masing kandidat menunjukkan rasa nasionalismenya, keduanya sama-sama ingin pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi dengan berhati-hati meyakinkan bahwa kekuasaan ekonomi tidak akan diberikan pada asing."
Awal Maret lalu Indonesia dan Australia menandatangani kerjasama perdagangan komprehensif, yang selanjutnya masih memerlukan ratifikasi di parlemen masing-masing negara.
Salah satu hadirin berkewargenegaraan Australia bertanya mengapa ia tidak melihat pembahasan di media Indonesia soal penandatangan kerjasama perdagangan bebas dengan Australia dan apakah ini menjadi gambaran hubungan yang bertepuk sebelah tangan? Photo: Joko Widodo, yang kini menjabat sebagai Presiden RI akan bertarung bersama Prabowo Subianto untuk memperebutkan ratusan juta warga Indonesia di bulan April mendatang. (AP: Tatan Syuflana)
Menurut Dewi, hubungan Indonesia dan Australia selalu dinamis dan seringkali bersifat teman tapi benci, sehingga siapa pun yang akan menjadi presiden tidak akan memberikan pengaruh pada hubungan kedua negara.
"Bahkan saat memiliki momen terbaik diantara kedua pemimpin pun, selalu ada saja yang terjadi," ujar Dewi yang mengingatkan jangan terlalu menganggap adanya romantisme dalam sebuah hubungan bilateral.
"Jadi siapapun yang menang dan sekalipun ia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Australia, jika ada isu Papua Barat atau perubahan kebijakan dari Australia misalnya, maka akan menggelincirkan hubungan kita."
Dewi juga menjelaskan kebijakan luar negeri Indonesia tidak pernah hanya spesifik ke satu negara saja, tetapi Australia dianggap sebagai salah satu mitra yang penting karena sama-sama memiliki kepedulian soal keamanan di kawasan, perekonomian, serta sama-sama menjadi produsen komoditi utama.
Uniknya pemilu tahun ini di Indonesia yang dituangkan dalam angka oleh Lowy Institute telah membuat banyak warga Australia, khususnya dari kalangan akademisi dan peneliti, kagum dan menunggu jalannya pesta demokrasi terbesar di Asia Tenggara tersebut.
Nantikan berita-berita seputar pemilu Indonesia dari Australia hanya di ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Komunitas Indonesia di Selandia Baru Terkesan Besarnya Empati Warga Setempat