Pengamat Sebut Banyak Periset Ketakutan Melakukan Penelitian Eksploratif dan Bebas

Minggu, 02 Mei 2021 – 23:59 WIB
Muhammad Nur Rizal saat memberikan materi webinar. Foto tangkapan layar/mesya

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dan praktisi pendidikan Muhammad Nur Rizal menilai kendala sektor riset di Indonesia terletak pada mindset, anggaran dan kapasitas pengelolaannya.

Selama ini, budaya riset di dunia kampus terhalang oleh penerjemahan definisi korupsi itu sendiri. Siapa saja baik perseorangan maupun lembaga negara yang berpotensi merugikan uang negara bisa dimasukkan sebagai delik korupsi.

BACA JUGA: Guru Besar UI: Riset Harus Bebas dari Kepentingan Kekuasaan dan Uang

“Kalau ingin merencanakan riset tetapi pada kenyataannya tidak sesuai target yang direncanakan maka dapat dikategorikan delik korupsi," kata Nur Rizal dalam pesan tertulisnya, Minggu (2/5).

Hal tersebut, lanjutnya, membuat mandeg karena para periset ketakutan dan tidak tertarik melakukan kajian riset yang bersifat eksploratif dan bebas.

BACA JUGA: Hasil Riset IPR, Ini 5 Menteri Terpopuler di Media

Karena itu diperlukan koordinasi dan supervise antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristekdikti) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengatasinya.

"Penggabungan Kemendikbud dengan Kemenristek merupakan suatu tantangan bagi Mas Menteri Nadiem Makarim," ujar Nur Rizal.

BACA JUGA: Menko PMK: Cadangan Dana Abadi Pendidikan akan Diperbesar untuk Beasiswa dan Riset

Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) ini mengungkapkan, tantangan utama lainnya adalah dana riset Indonesia saat ini sangat kecil seperti disampaikan kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) terdahulu Bambang Brojonegoro, baru 0,25% dari PDB.

Alokasi ini berbeda jauh dari negara-negara maju sebesar sekitar 2%. Bahkan negara tetangga seperti Vietnam sudah mengalokasikan sebesar 0,44% – 0,45%, Thailand 0,78% dan Malaysia 1,3% dari PDB.

“Dana yang kecil sulit untuk menggerakkan kemajuan riset karena kualitas dan hilirisasi membutuhkan biaya besar," ucapnya.

Belum lagi, kata Rizal, bila porsi kecil itu pengelolaannya tidak terpadu, tersebar di berbagai kementerian atau kembaga negara, yang berpotensi terjadinya duplikasi dan inefisiensi hasil penelitian.

Dia berharap penggabungan tersebut mengarahkan orientasi kebijakan dan pengelolaan riset lebih terpadu.

Lebih lanjut dikatakan, dalam meningkatkan anggaran terbatas, ekosistem kolaborasi dengan swasta diperlukan untuk menjadi filantropi pengembangan riset bersama dunia kampus. Saat ini, data BRIN menunjukkan porsi sektor swasta masih berkisar 8-10% dari keselutuhan anggaran riset di Indonesia. 

"Kolaborasi pemerintah, swasta, dan kampus agar berkelanjutan dapat melalui pembentukan “dana abadi” dengan relaksasi perpajakan, membuat kanal kampus, menjamurnya pilot project riset bersama," tuturnya.

Harapan lainnya, kata dosen di Universitas Gajah Mada (UGM) ini, penggabungan dua kementerian bisa menciptakan budaya riset yang terinternalisasi di dalam proses pendidikan dan ekosistem belajar sejak pendidikan dasar. Sehingga proses pembelajaran didominasi dengan thinking and reasoning process, bukan sekadar konten pengetahuan. 

Jadi, kata Nur Rizal, penggabungan kementerian ini akan menyediakan “jalan toll” bagi penumbuhan minat, sikap dan budaya ilmiah atau menemuan nyata di kalangan generasi muda Indonesia

“Jika ingin menjadi negara maju, maka porsi anggaran yang besar terhadap untuk riset, efisiensi pengelolaan anggaran, dan ekosistem riset harus menjadi fokus utama dalam menjalankan sektor ristek ini," pungkasnya. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler