jpnn.com, JAKARTA - Di tengah menghangatnya isu reshuffle kabinet seiring pergantian Panglima TNI, Presiden Jokowi diminta untuk turut mengganti Moeldoko sebagai Kepala Staf Presiden.
Moeldoko dinilai terlalu sering melakukan blunder yang merugikan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, di tengah upaya menyiapkan warisan (legacy) kepemimpinan menjelang pergantian tahun 2024 nanti.
BACA JUGA: Permohonan Uji Materi AD/ART Ditolak MA, Kubu Moeldoko Malah BersyukurÂ
Pengamat politik dari UNPAD Firman Manan mengingatkan keputusan Mahkamah Agung (MA) untuk menolak permohonan judicial review terhadap AD ART Partai Demokrat, merupakan blunder Moeldoko yang kesekian kalinya.
Firman mengatakan penolakan MA ini merupakan tamparan tersendiri. Konstruksinya saja sudah tidak lazim. KSP Moeldoko memotori gugatan terhadap Menkum HAM yang notabene adalah sesama anggota kabinet. Objek gugatannya juga problematik.
BACA JUGA: Permohonan Uji Materi Kubu Moeldoko Ditolak MA, AHY: Kami Sudah Prediksi
“Tidak terbayang kekacauan hukum yang terjadi jika AD/ART organisasi boleh digugat sembarang orang. Andai dikabulkan, ini tentu mengancam kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi,” kata Firman, Selasa (16/11).
Firman mengatakan di tengah menumpuknya kasus-kasus peradilan yang belum selesai dan rasa keadilan masyarakat yang terluka, permohonan judicial review atas AD/ART Partai Demokrat ini sesungguhnya pemborosan sumber daya hukum.
“Moeldoko kena prank tiga kali. Sebelumnya oleh Darmizal dan Jhony Allen Marbun, sekarang oleh Yusril (Ihza Mahendra). Moeldoko makin kelihatan tidak kompeten sebagai Kepala Staf Presiden,” kata dia.
Soal ini juga menjadi atensi Ubedilah Badrun, pengamat politik dari UNJ. "Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama," kata Ubedilah menyitir pepatah.
“Presiden biasanya ingin dikenang baik setelah usai menjabat. Di tengah terus menurunnya citra Jokowi, sayangnya langkah-langkah yang diambil KSP Moeldoko lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan Presiden Jokowi dalam menyiapkan legacy pemerintahannya."
Ubedilah mengingatkan bukan hanya dalam kasus Demokrat, Moeldoko melakukan manuver yang merugikan reputasi Pemerintah.
“Dalam kasus Jiwasraya, terdakwa Hary Prasetyo pernah direkrut Moeldoko sebagai tenaga ahli. Pada saat itu, manipulasi keuangan para nasabah sudah dan sedang terjadi. Mustahil sebagai Kepala Staf Presiden dan mantan Panglima TNI, Moeldoko tidak melakukan background check. Kalau Moeldoko berdalih tidak tahu, berarti kemampuan intelijennya lemah. Apapun alasannya, ini menunjukkan Moeldoko tidak kompeten sebagai pembantu Presiden."
Selain itu, lanjut Ubedilah, Masih ada dugaan kasus Ivermectin yang berujung gugatan pada ICW.
Ada dua pertanyaan besar yang belum dijawab Moeldoko: bagaimana ia menjelaskan potensi konflik kepentingan yang terjadi sebagai pembuat kebijakan di satu sisi dan sebagai pihak yang berpotensi menerima manfaat (beneficial ownership) dalam bisnis distribusi Ivermectin?
Perpres No 13/2018 yang ditandatangani Presiden tegas mengatur soal ini. Selain itu, kenapa ia merespon riset ICW justru dengan gugatan pengadilan?"
Ubedilah, yang juga analis sosiologi-politik, sepakat dengan banyak politisi dan pengamat yang menyarankan agar Presiden Jokowi me-reshuffle Moeldoko jika tidak ingin citranya makin memburuk.
"Saya banyak tidak setuju dengan sejumlah kebijakan Jokowi, tapi saya tahu ia pasti ingin meninggalkan legacy yang baik sebagai Presiden dengan caranya sendiri. Dalam konteks ini, manuver-manuver Moeldoko saya cermati lebih menjadi beban (liabilities) ketimbang aset bagi Jokowi dan pemerintahannya," tutup Ubedilah.(fri/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Friederich